Bismillahirahmanirrahim...
Belum sampai tujuanku untuk menuju kota Padang, sejak
keberangkatan pada Kamis (07 Agustus 2014) pukul 13.51 wib kemarin. Tiba di
terminal Padang Panjang sekitar pukul 11.30 wib aku menghidupkan telpon
genggamku yang sengaja sering kumatikan sebab baterai yang cepat habis dan
tempat pengecas yang kurang kondusif selama di perjalanan. Siang itu, tepat di handphone-ku itu baru saja hidup dan
belum begitu normal, akan tetapi sebuah nomor telpon XL menelponku dengan
sebuah kabar mengejutkan dan membahagiakan bagiku. Dari percakapan itu, sebab
belum tertera nama di handphone itu
aku belum dapat menerka secara betul kalau yang membarikan kabar itu adalah
Astina Dwi Errika, sahabat seperjuangan di Matematika Dua Ribu Sepuluh
(Matilu).
“Alhamdulillah, selamat ya. Undip menunggumu. Selamat lolos
ke PIMNAS 27,” ujarnya dengan nada bahagia dari kejauhan.
Mendengarnya seperi genderang yang ditabuh dari tanah yang
tinggi (baca : berbukit) sehingga menyaringkan suara yang begitu keras dan
menancap dalam di telinga serta pikiran. Di sisi lain, aku sangat mengetahui
betapa remuknya hatinya saat pada percakapan yang tak seberapa lama itu ia
menyebutkan bahwa program timnya belum berhasil pada tahun ini. Seperti yang
kuketahui, timnya yang berisikan orang-orang hebat menurutku; seperti Abduh (multitalent dan kreatif), Astina
(Energik dan produktif), Nur Fadlilah (Inspiratif dan bergerak tanpa henti)
yang ketiganya sobat matilu, belum lagi Bagus Satria (kecil tapi gesit) dan
Kahfi (Santai tapi pasti).
Perkataannya itu sekaligus mengharukan bagiku yang sebelumnya
selama perjalanan menjelaskan kepada salah satu mahasiswa Universitas Andalas
(Unand) bernama Ruli jurusan Sistem Informasi tentang Program Kreatifitas
mahasiswa (PKM). Dari pembincangan itu, sepertinya ada ketertarikan baginya
untuk mengikuti program Dikti ini. Aku
pun tersenyum melihatnya, yang serta merta mengatakan kata ‘sibuk’ sedang ia
sendiri hanya Kuliah-Pulang, Kuliah Pulang (Kupu-Kupu).
Selain itu, selama perjalanan Padang Panjang menuju kota
Padang terjadilah percakapan singkat yang aku sendiri tak sadar akan apa yang
aku katakan kepadanya. Bahkan aku sendiri kurang yakin apakah aku sendiri bisa
melakukan apa yang terlontar olehku saat itu. Yang jelas, apa yang telah aku
ataupun akan aku lakukan dapat sesuai dengan apa yang aku katakan.
“Kenapa tidak mencoba mengajar atau membuka bimbel di daerah
sekitar tempat tinggalmu?” tanyaku dengan lirih.
“Itulah yang sulit bagiku. Aku orang yang tak sabar,
sehingga tak cocoklah aku menjadi guru,” sahutnya dengan santai.
“Sebenarnya sabar itu adalah pengendalian diri, melalui
proseslah sabar akan tercipta dari diri seseorang. Begitu pula denganmu. Cobalah
pelajari dulu. Anggap saja itu latihan. Semisal mengajar privat beberapa anak
SD atau SMP yang ada di sekitarmu,”
“Nah, sepertinya mengajar anak SD lebih mudah. Tapi, dengan
kondisiku seperti ini tak cukup waktuku untuk melakukan hal itu,” kembali ia
menimpali dnegan santainya.
“Ehm...Bagiku mengajar anak SD itu lebih sulit. Apabila kita
tidak mengajari dengan benar maka itulah yang akan menjadi bekal bagi anak
didik kita. Setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam mengajar anak
SD, yaitu pertama mengajari konsep pembelajaran dengan benar, sehingga pada
tingkat selanjutnya ia bisa melakukan pembelajaran dengan mudah, dan kedua
mengajari moral mereka. Apabila moral mereka tidak kita didik pada alur yang
seharusnya, sampai besar pun moral mereka akan serta merta kepada keburukan...”
Belum selesai aku menggenapkan perkataanku, aku ataupun
penumpang lain langsung tercekat dan menatap kepada seorang bapak yang ingin ke
daerah Secilin yang kuperkirakan umurnya lebih dari 60-an tahun memotong
pembicaraanku.
“Aku setuju denganmu, pengajaran moral itu amat penting.
Dengan moral orang bisa memposisikan diri pada tempat yang seharusnya
dilakukan. Misalnya di ruangan ber-AC, pantaskah seseorang merokok? Bukankah itu
kurang ajar?”
Suasana hening seketika. Aku tak tak siapa yang disasari
lelaki paruh baya itu, ataukah seorang sopir yang sedang memegang rokoknya atau
ada penumpang lain di depan lelaki itu yang turut merokok pula. Yang jelas kami
terdiam sejenak akan suasana tersebut.
"Pendidikan moral hendaknya ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak, sebelum masa dewasanya mengalirkan kebiasaannya pada alur yang tak pantas.”
Setelah kurang lebih menempuh 24 jam dari Palembang ke kota
Padang yang disertai dengan insiden 2x ganti ban, dan keterlambatan
keberangkatan serta hujan ketika memasukkan barang ke bagasi mobil, aku
dijemput oleh Mas Wawan Purwanto, saudara sepupu yang menurutku super sekali.
berasal dari keluarga yang termasuk kurang mampu, ia berhasil menyelesaikan
gelar S1 dengan status Camlaude, lalu meraih hasil terbaik dari mahasiswa
ketika kuliah di salah satu perguruan swasta di Jakarta dengan biaya yang
berasal dari jerih payahnya sendiri. Sedang saat ini, sedang menyelesaikan
studi S3 di Taiwan dengan beasiswa di usia yang relatif muda.
Sekarang, dimanapun berada tak masalah. Terpenting adalah camkan dalam pikiran kita untuk menjadi yang terbaik di setiap ruang kau berada. Selama usaha sudah dilakukan, serahkan semuanya kepada ke Maha Kuasa. Jangan pernah merasa puas atas apapun yang telah diraih, semisal bertemu dengan orang yang lebih muda atau orang yang pendidikannya lebih rendah dari bisa jadi kita mengajaknya sharing, apabila pada yang sama maka saling memberilah lebih tepat, sedangkan pada orang yang lebih tua ataupun berwawasan tinggi jadikanlah guru yang dapat mengisi kubin-kubin kosong agar lebih berisi kembali.
Kata-kata yang kudapatkan setelah makan malam bersama dengan
pemberian wejangan cukup panjang hingga pukul 00.00 wib olehnya.
Selama pembincangan yang tak kurang dari 3 jam itu, aku
mengutarakan apa yang sudah aku bersama ayah, ibu, dan adikku bicarakan sebelum
aku berangkat ke Indralaya akan rencana masa depanku.
Tanpa menyebutkan secara detail tentang apa yang
disampaikan, dari sana sangat jelas sekali penjelasannya. Bahwa untuk melakukan
hal ‘yang kebanyakan’ orang belajar pada ruang yang pasti pun bisa kita
pelajari dengan detail. Sehingga untuk menjadi orang yang pandai dalam hal yang
inginkan itu yang apalagi sejak kecil sudah dekat dan berada pada orang-orang
yang telah mempelajarinya, mestinya bisa dijadikan penyebaran nuansa keinginan
untuk menjadikan diri terbiasa untuk turut melakukannya pula.
“Sekarang, jika kita memiliki beberapa keinginan, akan
tetapi dengan kesibukan di satu sisi, dengan demikian ada yang tak tersampaikan
maka akan ada rasa penyesalan karena ketakpuasan akan apa yang kita lakukan,
itu akan merugikan dirimu dan teramat sayang didapatkan sedang seharusnya
pembelajaran dapat dilakukan dimana-mana.”
Aku terdiam terus menyimak apa yang disampaikannya.
“Apa yang kau inginkan itu adalah ibadah, mas setuju jika
Wahyu mau melakukan itu. Akan tetapi, coba perhatikan mencari ilmu itu adalah
ibadah. Dengan mencari Ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, dengan sambil
mempelajari/membiasakan apa yang ingin dilakukan, setelahnya dapat berbagi ke
ruang yang lebih luas dan banyak serta terus menerus, semisal menjadi guru
atupun dosen,” sambungnya.
Ya, kini melalui penjelasan yang panjang. Cukup bagiku
sebagai pedoman lebih banyak (sebelum meng-istikharah-kan diri) untuk
melangkahkan mimpi. Siapa yang tak ingin beribadah? Toh, alangkah lebih baiknya
apa yang kita lakukan tanpa mengurangi dari manfaat yang ingin diraih sehingga
tiada menyisahkan kepiluan dalam hati. Ibaratkan saja, sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Air Tawar-Padang, 0:50 wib ; 09 Agustus 2014
Wahyu Wibowo
Benar Kak, menjadi guru SD itu lebih sulit.
BalasHapusMembaca tulisan Kakak mengingatkan saya akan mimpi S2 di luar negeri. Mmh... semoga ada jalan untuk orang yang terus belajar dan disertai dengan doa. :)
Monggo dilanjutkan mimpinya, Nelvi...sukses selalu ya... :D
BalasHapus