Laman

Sabtu, 22 Juni 2013

Menulis, Budaya Terlupakan oleh Mahasiswa

Oleh :  Wahyu Wibowo

          Hakikatnya dalam hidup ini tak pernah terlepas dari kegiatan menulis. Terbukti sejak menempuh pendidikan dasar, menulis adalah kewajiban yang mutlak. Bukan sekedar kewajiban, melainkan jembatan untuk menuju penempatan wawasan yang didapatkan selama perjalanan hidup. Hal ini didasari oleh ketakmampuan memori pikiran untuk menyimpan semua apa yang dijumpai dalam waktu yang singkat.

          Dari kesekian rutinitas kegiatan menulis sejak pendidikan dasar, hanya sebagian saja yang menulis berbentuk cerpen, artikel, atau karya tulis lainnya. Ini pun dilakukan semata untuk meluapkan rasa yang sedang dialami. Padahal jikalau rutinitas ini dilakukan dengan pemahaman lebih mengenai posisi atau bentuknya, maka akan melahirkan keterampilan diri dan pengembangan potensi diri.

          Ternyata paradigma sebagai siswa masih diadposi ketika status menyatakan mahasiswa.  Padahal di bangku perkuliahan, berdasarkan filosofisnya menuntut perkembangan keterampilan menulis. Banyak hal kegiatan mahasiswa berhubungan dengan menulis. Proposal, makalah, dan skripsi misalnya. Bahkan setiap tahun Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) menyelenggarakan Program Keterampilan Mahasiswa  (PKM).

          Adapun penyebab kurangnya minat mahasiswa untuk memahami dunia menulis disebabkan karena kurangnya wadah belajar dan seminar kepenulisan di perguruan tinggi sebagai pencerdasan mahasiswa tentang pentingnya menulis. Walaupun dari Ditjen Dikti sudah menyelanggarakan PKM setiap tahunnya, namun karena kurangnya publikasi dari pihak kampus maupun organisasi yang membidangi bidang tersebut mengakibatkan mahasiswa banyak belum mengetahui program tersebut. selain itu, sebagai mahasiswa hendaknya mencari informasi mengenai dunia kepenulisan dan memiliki keinginan yang keras untuk berpartisipasi ketika diadakan pelatihan dan seminar kepenulisan.

          Di sisi lain,  prospek yang lahir dari dunia menulis pun sangat menjanjikan bagi mahasiswa sebagai penulis. Selain kreatifitas semakin meningkat, kepuasan batin pun akan dirasakan apabila tulisan menuai penghargaan. Belum lagi kepopularitasan dan dikenang karena tulisan mampu menembus media. R.A. Kartini misalnya, melalui buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” ia terkenang sepanjang masa.

          Status Agen of Change hendaknya menjadi pelecut tersendiri bagi mahasiswa untuk melahirkan paradigma baru. Khususnya menjadikan menulis sebagai budaya masa depan.

*Tulisan ini telah dipublikasikan melalui koran lokal Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Tepatnya di Ogan Ilir Ekspres (22 Desembaer 2012).

8 komentar:

  1. Saya setuju dengan Anda, sekarang ini budaya menulis mulai terkikis karena kebiasaan baru untuk mengambil jalan pintas yang dianggap praktis seperti copas dan lain-lain.
    Kunjung balik ya di Belajar MS Office

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal menulis merupakan rutinitas yang sudah dilakakukan sejak lama, seharusnya tinggal pemahaman dan pembelajaran pada "bentuk" yang diinginkan maka akan memberikan suatu manfaat lebih.

      Kebiasaan yang seharusnya dikurangi bahkan dihilangkan, sebagai civitas akademis maka kita harus mencontohkan hal yang baik.

      Oke mas, sudah berkungjung di sana..

      Hapus
    2. Betul itu mas, semakin sering menulis maka semakin baik cara kita berkomunikasu. Walaupun pada awal menulis tidak akan lepas dari istilah "mengutip" yang sekarang ini diartikan dan dilakukan dengan metode copast.
      Susah menghapus kebiasaan tersebut, jika kita sendiri tidak mau serius. (termasuk yg ngomong ni jg susah :D )

      Thanks kunjungannya....

      Hapus
    3. Dalam sebuah pekataan seorang ahli, disebutkan bahwa "Mengutip pada satu bacaan itu adalah plagiat, akan tetapi mengutip pada banyak tulisan itu merupakan ilmiah". jadi memang pada saat tertentu tidak masalah mengutip, asal masih dalam ritme sewajarnya saja.

      Untuk membiasakan diri menulis, cuma butuh konsisten saja.Luangkan waktu dalam sehari khusus untuk menulis, misal 5 menit, 10 menit, bahkan 1 jam sekalipun.

      sama-sama, mas...

      Hapus
  2. Membaca dan menulis
    rangkain yang seharusnya menjadi "kewajiban" manusia
    Iqro dan al-qolam...

    Keep reading n keep writing

    BalasHapus
  3. jadi, Layakkah "Budaya" ini diperdebatkan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk apa diperdebatkan, yang harus dilakukan adalah melestarikan dan selalu membanggakannya... :-)

      Hapus