Laman

Senin, 15 September 2014

Ya Rabb, Pesawat-Mu Menerbangkanku (2)




          Bismillahirahmanirrahiim...
Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi pada diri kita detik, menit, hari, esok, lusa, dan hari-hari kemudian, semua itu telah menjadi rencana-Nya dan telah kita sepakati sebelum kita lahir menatap dunia ini; yang kemudian Ia tetapkan dalam Lauhil Mahfuz.


Seperti kisahku yang bermula hanya memiliki ‘MIMPI’ lalu menuliskan dalam selembar kertas untuk menaiki ‘PESAWAT’ pada 2012 lalu, kemudian ternyata Ia izinkan untuk mencapai apa yang diangankan tersebut menjadi nyata. Lebih dari itu, tanpa seperpun uang yang harus dikeluarkan; sebab Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) yang membiayai semua.


Ditjen Dikti memberikan kesempatan bagiku ini bukan cuma-cuma, melainkan atas usaha yang kuberikan dalam sebuah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang berjudul ‘Komunitas Penulis Cilik Anak Panti Asuhan (Kompencil Kapas)’. Ternyata program yang dibuat ini berhasil menembus 1% dari 44.754 program yang diusulkan oleh kelompok mahasiswa seluruh Indonesia. Artinya, aku telah masuk ke 440 besar yang akan diperlombakan pada ajang ilmiah paling bergengsi tingkat mahasiswa yaitu Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-27, di Universitas Diponegoro, Semarang.


Impian itu menjadi nyata pada Senin, 25 Agustus 2014. Pagi itu, aku bersama sepuluh rekan lainnya berangkat dari Wisma Sriwijaya, dengan dijemput oleh bus berwarna biru milik kampus Universitas Sriwijaya (Unsri). Sekitar pukul 06.00 wib kami meninggalkan wisma sebab mau mengejar keberangkatan pukul 08.10 wib dan menuju bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Detak jantung ini bergerak lebih kencang dari biasanya, tak kuasa menahan laju waktu yang diminta lebih cepat. Kemudian, puku; 06.57 wib, sampailah kami di bandara yang ternyata seluruh kontingen lainnya sudah ada di bandara, termasuk dosen pendamping, official, dan tim pendamping Unsri.

Aku yang saat itu baru masuk ke dalam bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, terharu melihat aku diperiksa sedemikian ketat seperti yang sering kulihat di televisi. Ternyata, dengan jumlah yang seluruhnya 52 jiwa, membuat boarding pass dan sebagainya membutuhkan waktu lumayan lama. Pada saat pembelian boarding pass airport, pak Andi yang mewakili kampus Unsri diminta oleh petugas pesawat terbang untuk kolektif saja mengambil tiket dan boarding pass-nya.

Saat itu, kulihat jam yang tertera di handphone-ku menunjukkan angka 07.55 wib, dan kebetulan aku berada di barisan paling belakang—selain membawa tas ransel besar milikku, juga membawa tak ransel yang lebih besar lagi miliki dosen pembimbingku atas permintaanku, pun memang aku lebih menyukai berada di belakang sebagai pengawas dari rombongan atas keinginan hati. Seperti yang kulakukan saat mendaki ataupun turun Puncak Dempo yang merupakan puncak tertinggi di Sumatera Selatan, meskipun saat itu barulah pertama aku mendaki gunung—pada kesempatannya, satu per satu tiket dibagikan oleh pak Andi di pintu terakhir bandara sebelum kembali diperiksa oleh petugas bandara, satu per satu pun kontingen dari Unsri telah melewati pintu terakhir bandara dengan tiket yang sebagian disobek oleh petugas sebagai tanda bukti.

Waktu terus berjalan, sekitar 08.05 wib, aku, mbak Mey Melisa, Ayub, Kamila, Ayub, dan Rulli, serta pak Aan (dosen pendamping), tidak mendapatkan tiket seperti kebanyakan kontingen lainnya. Akhirnya perdebatan pun dimulai antara pak Andi dan beberapa petugas yang awalnya menyuruh kolektif saja saat pengemabilan tiket, akan tetapi mereka tak mempedulikan—bahkan terkesan tak mau tau saat kami belum mendapatkan tiket—padahal jam keberangkatan hampir tiba. Melalui perdebatan yang lumayan panjang, namun khawatir dengan kondisi keberangkatan kami; pak Andi berinisiatif membayar kembali boarding pass airport kami.

Dengan sedikit tergesa-gesa, kami melewati pintu terakhir menuju pesawat terbang. Kembali, aku di bagian paling akhir. Tepat di muka pintu pesawat, dengan kondisiku yang dengan satu tas ransel besar di punggung, dan satu tas ransel di tangan; kembali aku dicegah untuk masuk pesawat oleh pramugari yang berada di depan pintu pesawat lion.

Berdalih dengan barang bawaan yang banyak, aku harus meninggalkan salah satu tas ransel ke bagasi. Mendengar perkataannya, aku sontak menolak. Satu tas ini milik dosenku, ujarku saat itu. Masih menguatkan argumennya, aku pun diminta mencari dosen yang sudah berada di dalam pesawat di saat-saat genting. Apalagi jam Indonesia pasti sudah lebih menyatakan angka 08.15, sehingga dengan segera dan terburu-buru aku masuk ke dalam pesawat dengan meninggalkan tas dosen itu di dekat pramugari.

Ada sekitar 40 bangku memanjang ke belakang, dan 6 ke arah kiri dan kanan membuatku kebingungan mencari wajah dosenku yang aku sendiri tak tau dimana tempat duduknya. Satu per satu wajah kulihat-cari dengan seksama. Aku kebingungan, di sisi lain aku harus segera sebab kondisi pesawat seharusnya sudah lepas landas. Pada langkah yang ke berapa, akhirnya kutangkap wajah dosenku itu. Kuberitahu kondisi yang sedang terjadi padanya. Seperti diriku, dia pun bergegas keluar pesawat untuk menemui pramugari.

Lagi-lagi, pramugari tak memberikan izin dengan mudah untuk membawa tas ransel milik dosenku itu. Rasanya banyak waktu yang harus diperjuangkan pada kilat waktu yang berkisah keberangkatan. Hingga akhirnya, pramugari mengalah dan mempersilahkan dosenku untuk membawa tas ranselnya.

 Aku sendiri, mencari tempat duduk kosong yang kuanggap dapat kutempati. Tak lagi aku melihat nomor bangku yang ada di tiketku itu. Pikiranku masih melayang dan dalam keadaan yang tergesa. Kemudian, terpilihlah bangku kosong yang ternyata dekat mbak Mey dan Bella, salah satu tim PKM dari FKIP Unsri. Mbak Mey yang sebelumnya terlibat tak dapat tiket pun mencurahkan rasa kekhawatirannya saat di masa-masa kritis. Ternyata dia lebih terharu—lalu tertawa—saat aku menceritakan asam-manisku sebelum masuk ke pesawat.


Bersamaan dengan instruksi yang kudengar, maka pesawat akan segera lepas landas. Mendengarnya, aku segera menutupkan mata lalu memanjatkan rasa syukur—bercampur haru—sehingga tak kuasa bening airmata menetes dari kelopak mataku. Mimpi yang kuanggap hanya sebuah coretan di atas kertas ternyata diijabah oleh Rabb-ku.


“Naiklah kamu semuanya ke dalam (pesawat) dengan menyebut nama Allah SWT saat terbang dan mendaratnya.” (Q.S. Hud : 41).


Aku meyakini akan peristiwa yang kualami sebelum keberangkatan ini memiliki hikmah yang besar. Di samping, inilah selipan kisah yang Allah titipkan kepada sebagai bukti bahwa Ia memang maha mengetahui dan merencanakan segala sesuatu untuk hamba-Nya. Bisa jadi, ini sebagian rencana dari-Nya sebelum mencapai rencana besar selanjutnya bagiku.

          Semisal hujan mengguyur dengan tiba-tiba, siapkah memayungi diri dari tetesan derasnya. Semisal lesatan panah datang dengan tiba-tiba tak tertangkap mata, siapkah kita menahan tusukan kerasnya. Semisal alam imajinasi yang mendayu di ruang hari berubah ke alam nyata, siapkah kita mempercayai kuasa-Nya?


Indralaya, 15 September 2014
Wahyu Wibowo
~ Semoga Menginspirasi ~

1 komentar: