Bismillahirahmanirrahiim...
Kita
tak pernah tau apa yang akan terjadi pada diri kita detik, menit, hari, esok,
lusa, dan hari-hari kemudian, semua itu telah menjadi rencana-Nya dan telah
kita sepakati sebelum kita lahir menatap dunia ini; yang kemudian Ia tetapkan
dalam Lauhil Mahfuz.
Seperti
kisahku yang bermula hanya memiliki ‘MIMPI’ lalu menuliskan dalam selembar
kertas untuk menaiki ‘PESAWAT’ pada 2012 lalu, kemudian ternyata Ia izinkan
untuk mencapai apa yang diangankan tersebut menjadi nyata. Lebih dari itu,
tanpa seperpun uang yang harus dikeluarkan; sebab Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi (Ditjen Dikti) yang membiayai semua.
Ditjen
Dikti memberikan kesempatan bagiku ini bukan cuma-cuma, melainkan atas usaha
yang kuberikan dalam sebuah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang berjudul
‘Komunitas Penulis Cilik Anak Panti Asuhan (Kompencil Kapas)’. Ternyata program
yang dibuat ini berhasil menembus 1% dari 44.754 program yang diusulkan oleh
kelompok mahasiswa seluruh Indonesia. Artinya, aku telah masuk ke 440 besar
yang akan diperlombakan pada ajang ilmiah paling bergengsi tingkat mahasiswa
yaitu Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-27, di Universitas
Diponegoro, Semarang.
Impian
itu menjadi nyata pada Senin, 25 Agustus 2014. Pagi itu, aku bersama sepuluh
rekan lainnya berangkat dari Wisma Sriwijaya, dengan dijemput oleh bus berwarna
biru milik kampus Universitas Sriwijaya (Unsri). Sekitar pukul 06.00 wib kami
meninggalkan wisma sebab mau mengejar keberangkatan pukul 08.10 wib dan menuju
bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Detak jantung ini bergerak lebih kencang
dari biasanya, tak kuasa menahan laju waktu yang diminta lebih cepat. Kemudian,
puku; 06.57 wib, sampailah kami di bandara yang ternyata seluruh kontingen
lainnya sudah ada di bandara, termasuk dosen pendamping, official, dan tim
pendamping Unsri.
Aku
yang saat itu baru masuk ke dalam bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, terharu
melihat aku diperiksa sedemikian ketat seperti yang sering kulihat di televisi.
Ternyata, dengan jumlah yang seluruhnya 52 jiwa, membuat boarding pass dan
sebagainya membutuhkan waktu lumayan lama. Pada saat pembelian boarding pass airport, pak Andi yang
mewakili kampus Unsri diminta oleh petugas pesawat terbang untuk kolektif saja
mengambil tiket dan boarding pass-nya.
Saat
itu, kulihat jam yang tertera di handphone-ku
menunjukkan angka 07.55 wib, dan kebetulan aku berada di barisan paling
belakang—selain membawa tas ransel besar milikku, juga membawa tak ransel yang
lebih besar lagi miliki dosen pembimbingku atas permintaanku, pun memang aku
lebih menyukai berada di belakang sebagai pengawas dari rombongan atas
keinginan hati. Seperti yang kulakukan saat mendaki ataupun turun Puncak Dempo
yang merupakan puncak tertinggi di Sumatera Selatan, meskipun saat itu barulah
pertama aku mendaki gunung—pada kesempatannya, satu per satu tiket dibagikan
oleh pak Andi di pintu terakhir bandara sebelum kembali diperiksa oleh petugas
bandara, satu per satu pun kontingen dari Unsri telah melewati pintu terakhir
bandara dengan tiket yang sebagian disobek oleh petugas sebagai tanda bukti.
Waktu
terus berjalan, sekitar 08.05 wib, aku, mbak Mey Melisa, Ayub, Kamila, Ayub,
dan Rulli, serta pak Aan (dosen pendamping), tidak mendapatkan tiket seperti
kebanyakan kontingen lainnya. Akhirnya perdebatan pun dimulai antara pak Andi
dan beberapa petugas yang awalnya menyuruh kolektif saja saat pengemabilan
tiket, akan tetapi mereka tak mempedulikan—bahkan terkesan tak mau tau saat
kami belum mendapatkan tiket—padahal jam keberangkatan hampir tiba. Melalui
perdebatan yang lumayan panjang, namun khawatir dengan kondisi keberangkatan
kami; pak Andi berinisiatif membayar kembali boarding pass airport kami.
Dengan
sedikit tergesa-gesa, kami melewati pintu terakhir menuju pesawat terbang.
Kembali, aku di bagian paling akhir. Tepat di muka pintu pesawat, dengan
kondisiku yang dengan satu tas ransel besar di punggung, dan satu tas ransel di
tangan; kembali aku dicegah untuk masuk pesawat oleh pramugari yang berada di
depan pintu pesawat lion.
Berdalih
dengan barang bawaan yang banyak, aku harus meninggalkan salah satu tas ransel
ke bagasi. Mendengar perkataannya, aku sontak menolak. Satu tas ini milik dosenku, ujarku saat itu. Masih menguatkan
argumennya, aku pun diminta mencari dosen yang sudah berada di dalam pesawat di
saat-saat genting. Apalagi jam Indonesia pasti sudah lebih menyatakan angka
08.15, sehingga dengan segera dan terburu-buru aku masuk ke dalam pesawat
dengan meninggalkan tas dosen itu di dekat pramugari.
Ada
sekitar 40 bangku memanjang ke belakang, dan 6 ke arah kiri dan kanan membuatku
kebingungan mencari wajah dosenku yang aku sendiri tak tau dimana tempat
duduknya. Satu per satu wajah kulihat-cari dengan seksama. Aku kebingungan, di
sisi lain aku harus segera sebab kondisi pesawat seharusnya sudah lepas landas.
Pada langkah yang ke berapa, akhirnya kutangkap wajah dosenku itu. Kuberitahu
kondisi yang sedang terjadi padanya. Seperti diriku, dia pun bergegas keluar
pesawat untuk menemui pramugari.
Lagi-lagi,
pramugari tak memberikan izin dengan mudah untuk membawa tas ransel milik
dosenku itu. Rasanya banyak waktu yang harus diperjuangkan pada kilat waktu
yang berkisah keberangkatan. Hingga akhirnya, pramugari mengalah dan
mempersilahkan dosenku untuk membawa tas ranselnya.
Aku
sendiri, mencari tempat duduk kosong yang kuanggap dapat kutempati. Tak lagi
aku melihat nomor bangku yang ada di tiketku itu. Pikiranku masih melayang dan
dalam keadaan yang tergesa. Kemudian, terpilihlah bangku kosong yang ternyata
dekat mbak Mey dan Bella, salah satu tim PKM dari FKIP Unsri. Mbak Mey yang
sebelumnya terlibat tak dapat tiket pun mencurahkan rasa kekhawatirannya saat
di masa-masa kritis. Ternyata dia lebih terharu—lalu tertawa—saat aku
menceritakan asam-manisku sebelum masuk ke pesawat.
Bersamaan
dengan instruksi yang kudengar, maka pesawat akan segera lepas landas.
Mendengarnya, aku segera menutupkan mata lalu memanjatkan rasa syukur—bercampur
haru—sehingga tak kuasa bening airmata menetes dari kelopak mataku. Mimpi yang
kuanggap hanya sebuah coretan di atas kertas ternyata diijabah oleh Rabb-ku.
“Naiklah kamu semuanya ke dalam (pesawat) dengan menyebut nama Allah SWT saat terbang dan mendaratnya.” (Q.S. Hud : 41).
Aku
meyakini akan peristiwa yang kualami sebelum keberangkatan ini memiliki hikmah
yang besar. Di samping, inilah selipan kisah yang Allah titipkan kepada sebagai
bukti bahwa Ia memang maha mengetahui dan merencanakan segala sesuatu untuk
hamba-Nya. Bisa jadi, ini sebagian rencana dari-Nya sebelum mencapai rencana besar
selanjutnya bagiku.
Semisal
hujan mengguyur dengan tiba-tiba, siapkah memayungi diri dari tetesan derasnya.
Semisal lesatan panah datang dengan tiba-tiba tak tertangkap mata, siapkah kita
menahan tusukan kerasnya. Semisal alam imajinasi yang mendayu di ruang hari
berubah ke alam nyata, siapkah kita mempercayai kuasa-Nya?
Indralaya, 15 September 2014
Wahyu Wibowo
~
Semoga Menginspirasi ~
air mataku begitu lancang mengalir deras sebab membaca ini
BalasHapus