Laman

Selasa, 16 September 2014

Rahasia-Nya Begitu Indah


Bismillaharrahmanirrahiim...

Akhir-akhir ini, Indralaya menggambarkan sebuah daerah yang sangat miris dan perlu perhatian. Asap dan debu menyebar dari setiap penjuru. Hutan-hutan atau lahan kosong dengan derasnya mengirimkan asap tebalnya. Hampir setiap jam ada saja kiriman asap itu; jadi ingat betapa sulitnya dan banyaknya korban akibat asap di Riau, seperti yang disampaikan K.H. Ust. Arifin Ilham, dalam doa bersama empat bulan lalu di Tanjung Batu, yang menyebutkan bahwa Pemprov Riau bisa mengeluarkan uang sekitar 40juta sebulan untuk membuat hujam buatan.


Belum lagi, debu-debu jalanan yang berhembus tiada henti dikerontangnya bumi Caram Seguguk  yang memang berdebu. Perpaduan kemepul asap dan hembusan debu yang mengejar setiap jiwa-jiwa manusia pun semua yang berada di sekitar ibukota kabupaten Ogan Ilir ini.

Pun senin kemarin, seperti diucapkan Bpk. Anton Hilman—salah satu pengurus di Institut Francais Indonesia (IFI)—dalam seminar beasiswa Prancis yang diadakan oleh Rasilia Palmi dkk melalui Office of International Affairs of Sriwijaya University (OIA UNSRI), yang menyebutkan asap dan debu di Indralaya lebih parah daripada polusi di Jakarta.

[1] Asap dan debu adalah sahabat
[2] Ketika tak kuasa mengeratkan dengan keyakinanmu
[3] Maka, siapkanlah padakam lemahmu olehnya

Kira-kira begitulah jadinya, ketika ketakmampuan diri menjaga diri dengan benar.  Pagi ini, tubuhku mulai merasa tak kuasa untuk beraktifitas lebih. Di sisi lain, hari ini ada beberapa cakupan yang meski kujalani. Skirpsi, terus minta dicicil. Belum lagi, amanah di rubrik Fresh, serta sharing-sharing berkenaan PKM bersama himpunan yang membesarkanku, HIMMA FKIP Unsri.

Aku mencoba menyicil segala dengan kemampuan yang bisa dilakukan, hingga menjelang pukul 13.00 wib, aku harus sudah dalam kondisi baik untuk menebarkan kemanfaatan yang semestinya harus kulakukan. Tak kurang 60 mahasiswa dari 3 angkatan berbeda—sayangnya masih banyak adik-adik belum berkesempatan hadir—dalam acara sharing-sharing itu. Meskipun begitu, aku merasa cukup puas dengan apa yang kulakukan. Pun sedikitnya, terdata 15 kelompok PKM baru yang terbentuk—di samping banyak lagi adik-adik yang sudah kuarahkan sebelumnya untuk membuat kelompok PKM.

Pukul 16.30 wib, aku membayangkan pikiranku pada amanah Rubrik Fresh  yang belum genap kuselesaikan. Ada beberapa konten yang memintaku untuk segera diselesaikan.

“Pada keadaan yang tak biasanya, diri akan berbuat lebih banyak dari biasanya.”

Aku menyadari, keadaanku yang seharusnya kuistirahatkan sejenak. Meskipun waktu demikian dianjurkan tidak untuk tidur, namun dalam keadaan yang tak biasanya aku rebahkan tubuh ini tak lebih 30 menit yang bagiku sudah menentramkan. Selanjutnya, menggenapkan yang belum usai.

“Apa yang terjadi, belum tentu apa yang dipikirkan sebelumnya. Itulah jalan-Nya, pun rahasia-Nya.”

Sehabis shalat Magrib, sebuah nomor handphone  baru memanggilku. Dengan segera aku ingat ketika pada siangnya aku sempat mengabaikan—lalu lupa—pada saat sedang memberikan cerita kepada adik-adik yang kelak melanjutkan bahkan memberikan prestasi lebih besar untuk himpunan dan kampus.

Melalui perkenalan singkat, aku pun mengetahui apa yang dimaksudkan. Ternyata, Allah itu sangat baik. Ini terulang, lagi. Aku berhasil menjadi jadi peserta terbaik, katanya. Mengingat ke belakang sebelum mengikuti lomba ‘fhoto’ Dinas Perhubungan Sumsel, yang baru tahu kemarin sore, menjelang magrib atas saran Apensi—seorang adik beberapa bulan yang memotivasiku untuk bangkit atas apa yang dikerjakan dan latar belakang yang kubaca dari ceritanya—itupun pada pertemuan tak sengaja ketika aku memanfaatkan internet gratis di kampus. Setelah berjanjian, sehabis isya kami kembali ke kampus untuk sharing dan mengirim karya bersama.

Dengan ini, besok pagi sekitar pukul 06.00 wib, aku harus segera mencari daerah yang namaya tak asing didengar namun belum sekalipun tau area mana itu. Yang jelas, BOOM Baru, adalah sebuah pelabuhan yang ada di kota Palembang. Sebab, pukul 07.30 wib diperkirakan panitia acara akan dimulai.

Berkenaan dengan ‘rejeki tak terduga’, ini mengingatkanku akan rejeki yang belum menjadi milikku dalam mengikuti kompetisi menulis cerpen—yang ternyata sehari setelah pengumuman, aku bersama rekan lainnya memang sengaja tak dibolehkan ikut lomba itu karena termasuk sudah lumayan aktif di FLP—tapi aku tak mempermasalahkan hal ini, aku memang tak mengharapkan lebih selain belajar. Ya, belajar!  Seperti halnya, ketika aku mengabdikan diri di program Kompencil Kapas yang didanai DIKTI, 11 juta yang diberikan, 11 juta pula yang kita keluarkan untuk pelaksanaan program.

Memang, sebenarnya bisa saja kalau mau mengambil beberapa persen untuk tambahan uang saku, tetapi naluri ini tak menerima. Tak mau menjadikan PKM yang merupakan Program Kreativitas Mahasiswa, menjadi Program Korupsi Mahasiswa. Selanjutnya, Allah sendiri memberikan imbalan yang lebih besar dari apa yang sebenarnya bisa kami dapatkan dari uang 11 juta itu, yaitu mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-27 di Universitas Semarang. Selain, mendapatkan uang saku, naik pesawat gratis, mengunjungi 3 provinsi (Jateng-Yogya-Jakarta), juga memberikan berkah sendiri sebab memiliki saudara yang tak kurang dari 2500 yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

“Hidup ini bisa saja simpel jika ingin memerankan diri sebagai lakon yang paling dibenci dalam hal keserakahan, akan tetapi hidup ini begitu mewah jika melaju pada jalannya masing-masing. Sekali kebanggaan dari kecerohonan akan terkalahkan dari kesusahan dari keteguhan prinsip yang berakhir keindahan.”

Seusai menyelesaikan semua amanah, ternyata tubuh ini sudah kembali pada posisinya setelah memberikan suatu penyegaran dengan memakan ‘Mie Pangsit’ dengan pedas—yang sekaligus, menggunakan sumpit oleh-oleh Vita dari Kumamoto, Jepang, yang disampaikan oleh mas Yunus pada malam penutupan PIMNAS 27—bersama Nofry, adik yang teramat sering menjadikan ruang inspiratifku menjadi ruang inspiratifnya sekaligus pelepas lelah baginya. Bahkan, dalam seminggu bisa saja ia menginap empat malam. Karena kedekatan yang sungguh, membuat kami seperti saudara sendiri. Kemudian aku memakan ‘Pecel Lele’ bersama Ilham, teman sekontrakan. Bukan tanpa alasan, apabila bapak sedang lagi ingin menetralkan tubuh—aku tak memikirkan masalah mahasiswa, uang—terpenting bagiku, tubuh dalam keadaan yang membawaku pada dimensi bahagia tanpa ada rasa lelah. []

Indralaya, 16 September 2014.
Wahyu Wibowo

Moga bermanfaat!


Mari silatirahmi di:
Facebook        : Wahyu Wibowo
Twitter             : @WahyuKelingi
Blog                 : Sinauramerame.blogspot.com


0 komentar:

Posting Komentar