Bismillaharrahmanirrahiim...
Akhir-akhir
ini, Indralaya menggambarkan sebuah daerah yang sangat miris dan perlu
perhatian. Asap dan debu menyebar dari setiap penjuru. Hutan-hutan atau lahan
kosong dengan derasnya mengirimkan asap tebalnya. Hampir setiap jam ada saja
kiriman asap itu; jadi ingat betapa sulitnya dan banyaknya korban akibat asap
di Riau, seperti yang disampaikan K.H. Ust. Arifin Ilham, dalam doa bersama
empat bulan lalu di Tanjung Batu, yang menyebutkan bahwa Pemprov Riau bisa
mengeluarkan uang sekitar 40juta sebulan untuk membuat hujam buatan.
Belum
lagi, debu-debu jalanan yang berhembus tiada henti dikerontangnya bumi Caram
Seguguk yang memang berdebu. Perpaduan kemepul asap dan hembusan debu
yang mengejar setiap jiwa-jiwa manusia pun semua yang berada di sekitar ibukota
kabupaten Ogan Ilir ini.
Pun
senin kemarin, seperti diucapkan Bpk. Anton Hilman—salah satu pengurus di
Institut Francais Indonesia (IFI)—dalam seminar beasiswa Prancis yang diadakan
oleh Rasilia Palmi dkk melalui Office of International Affairs of Sriwijaya
University (OIA UNSRI), yang menyebutkan asap dan debu di Indralaya lebih parah
daripada polusi di Jakarta.
[1] Asap dan debu adalah sahabat
[2] Ketika tak kuasa mengeratkan dengan
keyakinanmu
[3] Maka, siapkanlah padakam lemahmu
olehnya
Kira-kira
begitulah jadinya, ketika ketakmampuan diri menjaga diri dengan benar.
Pagi ini, tubuhku mulai merasa tak kuasa untuk beraktifitas lebih. Di
sisi lain, hari ini ada beberapa cakupan yang meski kujalani. Skirpsi, terus
minta dicicil. Belum lagi, amanah di rubrik Fresh, serta sharing-sharing
berkenaan PKM bersama himpunan yang membesarkanku, HIMMA FKIP Unsri.
Aku
mencoba menyicil segala dengan kemampuan yang bisa dilakukan, hingga menjelang
pukul 13.00 wib, aku harus sudah dalam kondisi baik untuk menebarkan kemanfaatan
yang semestinya harus kulakukan. Tak kurang 60 mahasiswa dari 3 angkatan
berbeda—sayangnya masih banyak adik-adik belum berkesempatan hadir—dalam acara
sharing-sharing itu. Meskipun begitu, aku merasa cukup puas dengan apa yang
kulakukan. Pun sedikitnya, terdata 15 kelompok PKM baru yang terbentuk—di
samping banyak lagi adik-adik yang sudah kuarahkan sebelumnya untuk membuat
kelompok PKM.
Pukul
16.30 wib, aku membayangkan pikiranku pada amanah Rubrik Fresh yang
belum genap kuselesaikan. Ada beberapa konten yang memintaku untuk segera
diselesaikan.
“Pada
keadaan yang tak biasanya, diri akan berbuat lebih banyak dari biasanya.”
Aku
menyadari, keadaanku yang seharusnya kuistirahatkan sejenak. Meskipun waktu
demikian dianjurkan tidak untuk tidur, namun dalam keadaan yang tak biasanya
aku rebahkan tubuh ini tak lebih 30 menit yang bagiku sudah menentramkan.
Selanjutnya, menggenapkan yang belum usai.
“Apa
yang terjadi, belum tentu apa yang dipikirkan sebelumnya. Itulah jalan-Nya, pun
rahasia-Nya.”
Sehabis
shalat Magrib, sebuah nomor handphone baru memanggilku. Dengan
segera aku ingat ketika pada siangnya aku sempat mengabaikan—lalu lupa—pada
saat sedang memberikan cerita kepada adik-adik yang kelak melanjutkan bahkan
memberikan prestasi lebih besar untuk himpunan dan kampus.
Melalui
perkenalan singkat, aku pun mengetahui apa yang dimaksudkan. Ternyata, Allah
itu sangat baik. Ini terulang, lagi. Aku berhasil menjadi jadi peserta
terbaik, katanya. Mengingat ke belakang sebelum mengikuti lomba ‘fhoto’ Dinas
Perhubungan Sumsel, yang baru tahu kemarin sore, menjelang magrib atas saran
Apensi—seorang adik beberapa bulan yang memotivasiku untuk bangkit atas apa
yang dikerjakan dan latar belakang yang kubaca dari ceritanya—itupun pada
pertemuan tak sengaja ketika aku memanfaatkan internet gratis di kampus.
Setelah berjanjian, sehabis isya kami kembali ke kampus untuk sharing dan
mengirim karya bersama.
Dengan
ini, besok pagi sekitar pukul 06.00 wib, aku harus segera mencari daerah yang
namaya tak asing didengar namun belum sekalipun tau area mana itu. Yang jelas,
BOOM Baru, adalah sebuah pelabuhan yang ada di kota Palembang. Sebab, pukul
07.30 wib diperkirakan panitia acara akan dimulai.
Berkenaan
dengan ‘rejeki tak terduga’, ini mengingatkanku akan rejeki yang belum menjadi
milikku dalam mengikuti kompetisi menulis cerpen—yang ternyata sehari setelah
pengumuman, aku bersama rekan lainnya memang sengaja tak dibolehkan ikut lomba
itu karena termasuk sudah lumayan aktif di FLP—tapi aku tak mempermasalahkan
hal ini, aku memang tak mengharapkan lebih selain belajar. Ya, belajar!
Seperti halnya, ketika aku mengabdikan diri di program Kompencil Kapas
yang didanai DIKTI, 11 juta yang diberikan, 11 juta pula yang kita keluarkan
untuk pelaksanaan program.
Memang,
sebenarnya bisa saja kalau mau mengambil beberapa persen untuk tambahan uang
saku, tetapi naluri ini tak menerima. Tak mau menjadikan PKM yang merupakan
Program Kreativitas Mahasiswa, menjadi Program Korupsi Mahasiswa. Selanjutnya,
Allah sendiri memberikan imbalan yang lebih besar dari apa yang sebenarnya bisa
kami dapatkan dari uang 11 juta itu, yaitu mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa
Nasional (PIMNAS) ke-27 di Universitas Semarang. Selain, mendapatkan uang saku,
naik pesawat gratis, mengunjungi 3 provinsi (Jateng-Yogya-Jakarta), juga
memberikan berkah sendiri sebab memiliki saudara yang tak kurang dari 2500 yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke.
“Hidup
ini bisa saja simpel jika ingin memerankan diri sebagai lakon yang paling
dibenci dalam hal keserakahan, akan tetapi hidup ini begitu mewah jika melaju
pada jalannya masing-masing. Sekali kebanggaan dari kecerohonan akan
terkalahkan dari kesusahan dari keteguhan prinsip yang berakhir keindahan.”
Seusai menyelesaikan semua amanah,
ternyata tubuh ini sudah kembali pada posisinya setelah memberikan suatu
penyegaran dengan memakan ‘Mie Pangsit’ dengan pedas—yang sekaligus,
menggunakan sumpit oleh-oleh Vita dari Kumamoto, Jepang, yang disampaikan oleh
mas Yunus pada malam penutupan PIMNAS 27—bersama Nofry, adik yang teramat
sering menjadikan ruang inspiratifku menjadi ruang inspiratifnya sekaligus
pelepas lelah baginya. Bahkan, dalam seminggu bisa saja ia menginap empat
malam. Karena kedekatan yang sungguh, membuat kami seperti saudara sendiri. Kemudian
aku memakan ‘Pecel Lele’ bersama Ilham, teman sekontrakan. Bukan tanpa alasan,
apabila bapak sedang lagi ingin menetralkan tubuh—aku tak memikirkan masalah
mahasiswa, uang—terpenting bagiku, tubuh dalam keadaan yang membawaku pada
dimensi bahagia tanpa ada rasa lelah. []
Indralaya, 16 September 2014.
Wahyu Wibowo
Moga
bermanfaat!
Mari silatirahmi di:
Facebook : Wahyu Wibowo
Twitter :
@WahyuKelingi
Blog : Sinauramerame.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar