Ilustrasi
buku dan eletronik, laptop
Di
dalam kisah, perpustakaan memiliki keharmonisan bersama buku. Reot, mewah, atau
bertingkatnya bangunan perpustakaan, akan wagu bila tak ditemui para buku.
Bermacam tema, sasaran pembaca, dan tahun kelahiran buku mengisi rak-rak yang
tatanannya memuat historis dan keserasian di mata penggagas perpustakaan. Buku
menjadi tamu kehormatan berderajat tinggi dan berlimpah keistimewaan, tak kalah
dengan barang-barang yang terpampang di supermarket, mall, atau
toko tak bermerek sekalipun.
Sri
Sularsi, Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, saat bertemu Wakil
Presiden Jusuf Kalla Oktober lalu, mengaku secara gamblang: “Perpustakaan sudah
ada, ini hanya pengembangan dengan internet agar perpustakaan bisa lebih
interaktif dengan masyarakat.” Adanya olah pikir seperti itu berawal saat
pembacaan kedatangan pengunjung dirasa lebih statis dan kurang bervariatifnya
sumber bacaan. Padahal para pengujung telah rela menderma waktu dan tenaga
menuju perpustakaan dengan berjalan kaki, bersepeda motor, atau naik
transportasi kota.
Bukti pubikasi, Harian Fajar Sumatera
Pengembangan
perpustakaan berakses internet menjadi hal yang penting dan berisikan
kepentingan di era kecanggihan teknologi. Kita bisa menduga bahwa untuk
pemenuhan perangkat internet di 7.200 perpustakaan di seluruh Indonesia
membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Apalagi sejauh ini kepemilikan perangkat
teknologi itu berkisar di 118 perpustakaan.
Penggalangan
bantuan pun dilakukan. Harian Media Indonesia, edisi 27 Oktober 2015,
mewartakan Coca Cola Foundation Indonesia dan Bill and Melinda Gates Foundation
bersedia menggelontorkan sejumlah uang bernilai US$12juta atau sekitar Rp150
miliar (dengan asumsi APBN 2015 Rp12.500). Namun, kita mesti berbaik sangka
kepada kedua lembaga penyumbang dana itu bahwa santunan yang diberikan itu
dilakukan dengan sepenuh hati tanpa adanya syarat-syarat kepentingan di luar
dari kepedulian.
Sosial
Fasilitas
mewah perpustakaan dengan kehadiran internet, mencipta babak baru bagi
perpustakaan. Para pengunjung yang datang hanya cukup menghadirkan tubuh dan
perangkat teknologi penyambung akses internet. Mereka tak perlu bersusah payah
menghabiskan waktu dengan berputar-putar di rak buku, melihat beratus-ratus
judul buku, melelahkan kaki ke petak-petak ruangan. Mereka tinggal
menyambungkan koneksi wifi dengan akun yang sudah dimiliki.
Kepekaan
sosial terhadap buku dan para pengunjung lain berkurang. Mereka lebih tertarik
melototkan mata di hadapan laptop kesayangan. Pelbagai media sosial menjadi
pilihan unggulan, semisal fesbuk, twitter, instagram, atau katakanlah
mereka bersibuk ria dan bermanja mencari segunung referensi yang tersedia di
semesta google.
Kepraktisan
dan melimpahnya pilihan informasi memikat hati mereka, tanpa memperhati
keabsahan bacaan yang sebenarnya sebagai bekal pertanggung jawaban. Buku mulai
diabaikan, dilupakan, dibiarkan nelangsa. Ratapan buku-buku ditandai dengan
tebalnya para debu menyelimuti mereka. Nasib mereka kian memprihatinkan.
Dalam
Kedaulatan Rakyat edisi 20 Oktober 2015, Cher Arista menceritakan
pesona perpustakaan dan kepentingan membaca buku. Menurut mahasiswi STPMD
“APMD” Yogyakarta ini, para ilmuwan dan professor saja masih membaca buku,
apalagi mahasiswa yang harus terus menambah pengetahuan dan koleksi bacaan.
Litbang Kompas (Kompas, 22 Oktober 2015) menyebutkkan 62,7% responden
tidak membaca buku dalam seminggu terakhir.
Hal
ini menandai kurang berhasilnya pihak perpustakaan melahirkan keharmonisan dan
mengeratkan jiwa sosial para masyarakat dan buku. Padahal peran ini semestinya
diemban oleh lembaga pengurus buku itu. Sekaligus mendukung upaya Kemendikbud
yang telah meresmikan cinta baca bagi para siswa dengan membaca buku selain
mata pelajaran selama 15 menit sebelum kegiatan belajar (Republika, 26
Oktober 2015).
Rumah
Buku
Kegandrungan
pada buku ditandai dengan lahirnya kesadaran akan tak hingga manfaat buku dan
ketakjuban wawasan setelah membacanya. Bandung Mawardi mengamini hal itu. Dalam
buku Macaisme (2011), ia menuliskan bahwa buku tak pernah lelah
menyapa dunia dengan kisah-kisah menakjubkan. Buku sanggup mengisahkan pelbagai
hal untuk melintasi zaman dan negeri. Buku mirip berkah tak lekang dihabisi
keserakahan manusia. Kekekalan buku melampaui usia manusia.
Bandung
memutuskan mencintai buku sejak berada di bangku sekolah menengah. Ribuan buku,
majalah, tabloid, dan koran telah dibaca dan dikumpulkan sebagai penghias
rumah. Ia mencipta perpustakaan di sana. Setiap orang dipersila datang, masuk, membaca
buku. Selain itu, pendiskusian pelbagai tema menjadi wacana yang
melimpahruahkan ide berupa permasalahan dan cara menyikapinya. Tak hanya
sebagai penikmat dan pengoleksi buku, ia telah menggarap dan mengagas puluhan
buku untuk dapat dinikmati pembaca.
Bila
pihak perpustakaan tetap beriktikad lebih mementingkan akses kecanggihan
teknologi daripada mencipta masyarakat buku, bukan tak mungkin para buku hanya
akan berkisah tentang ratapan mereka. Jika bisa berteriak, para buku
menyuarakan aspirasi untuk ditempatkan di rumah sederhana yang penuh cinta,
dibaca, dan diperbicangkan isinya. Jika ini benar-benar terjadi, maka peran
mulia perpustakaan akan beralih ke tangan para saudagar yang tak disebutkan
dalam kedinasan negara. []
*) Wahyu Wibowo,
Alumnus Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya.
Tulisan
ini dipublikasi oleh Fajar
Sumatera pada 8 Desember dan menjadi karya pertama saya di media pada bulan
Desember. Atau dapat dilihat pula di website Fajar
Sumatera.
Lalu
tulisan ini dipubliksi juga oleh Pesantren
Penulis.
Moga
bermanfaat!
Mari silatirahmi di:
Facebook : Wahyu Wibowo
Twitter :
@WahyuKelingi
Blog : Sinauramerame.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar