Laman

Jumat, 18 Desember 2015

Esai "Perpustakaan Berinternet dan Ratapan Buku"





Ilustrasi buku dan eletronik, laptop

Di dalam kisah, perpustakaan memiliki keharmonisan bersama buku. Reot, mewah, atau bertingkatnya bangunan perpustakaan, akan wagu bila tak ditemui para buku. Bermacam tema, sasaran pembaca, dan tahun kelahiran buku mengisi rak-rak yang tatanannya memuat historis dan keserasian di mata penggagas perpustakaan. Buku menjadi tamu kehormatan berderajat tinggi dan berlimpah keistimewaan, tak kalah dengan barang-barang yang terpampang di supermarket, mall, atau toko tak bermerek sekalipun.


Sri Sularsi, Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, saat bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla Oktober lalu, mengaku secara gamblang: “Perpustakaan sudah ada, ini hanya pengembangan dengan internet agar perpustakaan bisa lebih interaktif dengan masyarakat.” Adanya olah pikir seperti itu berawal saat pembacaan kedatangan pengunjung dirasa lebih statis dan kurang bervariatifnya sumber bacaan. Padahal para pengujung telah rela menderma waktu dan tenaga menuju perpustakaan dengan berjalan kaki, bersepeda motor, atau naik transportasi kota.

 Bukti pubikasi, Harian Fajar Sumatera

 
Pengembangan perpustakaan berakses internet menjadi hal yang penting dan berisikan kepentingan di era kecanggihan teknologi. Kita bisa menduga bahwa untuk pemenuhan perangkat internet di 7.200 perpustakaan di seluruh Indonesia membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Apalagi sejauh ini kepemilikan perangkat teknologi itu berkisar di 118 perpustakaan.

Penggalangan bantuan pun dilakukan. Harian Media Indonesia, edisi 27 Oktober 2015, mewartakan Coca Cola Foundation Indonesia dan Bill and Melinda Gates Foundation bersedia menggelontorkan sejumlah uang bernilai US$12juta atau sekitar Rp150 miliar (dengan asumsi APBN 2015 Rp12.500). Namun, kita mesti berbaik sangka kepada kedua lembaga penyumbang dana itu bahwa santunan yang diberikan itu dilakukan dengan sepenuh hati tanpa adanya syarat-syarat kepentingan di luar dari kepedulian.

Sosial

Fasilitas mewah perpustakaan dengan kehadiran internet, mencipta babak baru bagi perpustakaan. Para pengunjung yang datang hanya cukup menghadirkan tubuh dan perangkat teknologi penyambung akses internet. Mereka tak perlu bersusah payah menghabiskan waktu dengan berputar-putar di rak buku, melihat beratus-ratus judul buku, melelahkan kaki ke petak-petak ruangan. Mereka tinggal menyambungkan koneksi wifi dengan akun yang sudah dimiliki.

Kepekaan sosial terhadap buku dan para pengunjung lain berkurang. Mereka lebih tertarik melototkan mata di hadapan laptop kesayangan. Pelbagai media sosial menjadi pilihan unggulan, semisal fesbuk, twitter, instagram, atau katakanlah mereka bersibuk ria dan bermanja mencari segunung referensi yang tersedia di semesta google.

Kepraktisan dan melimpahnya pilihan informasi memikat hati mereka, tanpa memperhati keabsahan bacaan yang sebenarnya sebagai bekal pertanggung jawaban. Buku mulai diabaikan, dilupakan, dibiarkan nelangsa. Ratapan buku-buku ditandai dengan tebalnya para debu menyelimuti mereka. Nasib mereka kian memprihatinkan.

Dalam Kedaulatan Rakyat edisi 20 Oktober 2015, Cher Arista menceritakan pesona perpustakaan dan kepentingan membaca buku. Menurut mahasiswi STPMD “APMD” Yogyakarta ini, para ilmuwan dan professor saja masih membaca buku, apalagi mahasiswa yang harus terus menambah pengetahuan dan koleksi bacaan. Litbang Kompas (Kompas, 22 Oktober 2015) menyebutkkan 62,7% responden tidak membaca buku dalam seminggu terakhir.

Hal ini menandai kurang berhasilnya pihak perpustakaan melahirkan keharmonisan dan mengeratkan jiwa sosial para masyarakat dan buku. Padahal peran ini semestinya diemban oleh lembaga pengurus buku itu. Sekaligus mendukung upaya Kemendikbud yang telah meresmikan cinta baca bagi para siswa dengan membaca buku selain mata pelajaran selama 15 menit sebelum kegiatan belajar (Republika, 26 Oktober 2015).

Rumah Buku

Kegandrungan pada buku ditandai dengan lahirnya kesadaran akan tak hingga manfaat buku dan ketakjuban wawasan setelah membacanya. Bandung Mawardi mengamini hal itu. Dalam buku Macaisme (2011), ia menuliskan bahwa buku tak pernah lelah menyapa dunia dengan kisah-kisah menakjubkan. Buku sanggup mengisahkan pelbagai hal untuk melintasi zaman dan negeri. Buku mirip berkah tak lekang dihabisi keserakahan manusia. Kekekalan buku melampaui usia manusia.

Bandung memutuskan mencintai buku sejak berada di bangku sekolah menengah. Ribuan buku, majalah, tabloid, dan koran telah dibaca dan dikumpulkan sebagai penghias rumah. Ia mencipta perpustakaan di sana. Setiap orang dipersila datang, masuk, membaca buku. Selain itu, pendiskusian pelbagai tema menjadi wacana yang melimpahruahkan ide berupa permasalahan dan cara menyikapinya. Tak hanya sebagai penikmat dan pengoleksi buku, ia telah menggarap dan mengagas puluhan buku untuk dapat dinikmati pembaca.

Bila pihak perpustakaan tetap beriktikad lebih mementingkan akses kecanggihan teknologi daripada mencipta masyarakat buku, bukan tak mungkin para buku hanya akan berkisah tentang ratapan mereka. Jika bisa berteriak, para buku menyuarakan aspirasi untuk ditempatkan di rumah sederhana yang penuh cinta, dibaca, dan diperbicangkan isinya. Jika ini benar-benar terjadi, maka peran mulia perpustakaan akan beralih ke tangan para saudagar yang tak disebutkan dalam kedinasan negara. []

*) Wahyu Wibowo, Alumnus Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya.


Tulisan ini dipublikasi oleh Fajar Sumatera pada 8 Desember dan menjadi karya pertama saya di media pada bulan Desember. Atau dapat dilihat  pula di website Fajar Sumatera. 
Lalu tulisan ini dipubliksi juga oleh Pesantren Penulis.


Moga bermanfaat!


Mari silatirahmi di:
Facebook        : Wahyu Wibowo
Twitter             : @WahyuKelingi
Blog                 : Sinauramerame.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar