Laman

Kamis, 17 Desember 2015

Aku dan Koran




Rutinitas di pagi hari: mencari koran

 
"Bila karya kita ingin dibaca oleh orang lain, sering-seringlah membaca karya orang lain. Juga, jika karya kita ingin dibeli orang lain, maka mestinya kita mengapresiasi karya orang lain dengan membelinya pula."

Ingatanku mengarah ke tahun 2009 lalu. Waktu itu, secara kebetulan ataupun tidak, tiba-tiba saja aku tertarik membeli koran lokal yang di sana ada bacaan yang dibuat TIM Smart Linggau Pos. Uang tabungan kuambil sebagian, hanya untuk membeli koran hari minggu yang hingga kini masih kusimpan di rumah, setelah sebelumnya kubawa ke tanah rantau, Indralaya.



Pun di tahun 2010, ketika tercatat sebagai mahasiswa di Himma Fkip Unsri, dalam sepekan pasti ada beberapa hari aku membeli koran yang beberapa kali sangat disayangkan teman-teman karena mengeluarkan uang yang bila dialihfungsikan bisa cukup makan sehari-dua hari.

Atau kini, sejak dua bulan lalu sinau di Bilik literasi, setidaknya membaca koran setiap hari menjadi kecanduan--bukan perihal gaya pejabat, konglomerat, atau pengangguran--tapi akan ada pengetahuan dari lembar yang aromanya jelas langsung tercium oleh hidung, beda halnya dengan bacaan yang ada di internet, atau semisal e-book. Entahlah, aku lebih menyukai membaca koran, majalah, atau buku dengan langsung memegang sumbernya.

Di Jogja, tanah yang sejak SMA tiba-tiba saja memanggil untuk ditempati, setiap pagi aku berjalan-jalan menuju kios-kios untuk memegang, melihat, dan membeli salah satunya. Lagi-lagi, itu tak hanya sekadar ingin memiliki, setidaknya ada digit rupiah yang mesti dikeluarkan.

Namun, aku mulai sadar, menderma uang untuk membeli bacaan akan memberikan timbal balik tanpa diperkirakan. Entah dari besarnya rupiah yang dikeluarkan, sebagian pengetahuan, atau karya yang terus membara sebab membaca tulisan di sana.

Masih kuingat, beberapa hari lalu, ketika tiba-tiba kak Muhammad Asqalani Reborn menghubungi perihal pengambilan "rupiah" di salah satu media di daerahnya. Aku pun tak menyangka bila akan mendapatkan itu. Olehnya, selama dua bulan setelah pemuatan karya, aku tak pernah menyinggung perihal "honor".

Atau dari beberapa media, yang memang belum seberapa, namun ternyata semakin menyadarkanku, "Segala pencapaian butuh proses. Keinstanan bisa saja terjadi, tapi hasil tak mungkin mengingkari proses yang sudah dijalani."

Ya, menderma uang untuk dapatkan bacaan sangatlah perlu! []


Yogyakarta, 4 Desember 2015


Moga bermanfaat!


Mari silatirahmi di:
Facebook        : Wahyu Wibowo
Twitter                        : @WahyuKelingi
Blog                 : Sinauramerame.blogspot.com




2 komentar:

  1. Wahyu ngisi di Riau Pos? Waaah ... Aku terlewat kayaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus