Laman

Jumat, 07 Februari 2014

Kesuksesan Rencana Berawal dari Persiapan Matang


Bismillahirrahmaanirrohiim...

Kali ini aku akan menceritakan sedikit kisah mengenai perjalanan “Akademik” yang mesti kujalani dalam kehidupan kampus ini. Ada hal paling mengesankan saat aku melakukan pembelajaran mengajar di SMAN 1 Indralaya Selatan (Intan) yang disebut P4 atau bahasa umumnya PPL. Hal yang menarik hati untuk kemudian selalu diselami dan semayami dalam hati, yaitu berani mencoba dan kerja keras yang disertai persiapan yang mateng. Begitulah orang menyebutnya.
 
Dua minggu sebelum perpisahan, aku mengusulkan dengan diadakannya Pensi (Pentas Seni) yang aktor utama dalam kegiatan ini semua mahasiswa P4 dan juga siswa. Hanya ada beberapa awalnya yang menyetujui ideku ini, terlagi ketika aku menyebut “Teatrikal” di salah satu runtutan agendanya. Entah itu termasuk Teatrikal ataupun apa, yang jelas aku baru pertama mendengar kata itu ketika hendak “Pergelaran Malam Budaya” di Forum Indonesia Muda atau yang tak asing dikenal dengan FIM15, sehingga aku pula ingin mencobanya kembali di SMA itu bersama teman-teman yang lain.

Melalui prosesi diskusi panjang, akhirnya teman-teman menerima ide yang jika dipikir “Gila” ini. Bagaimana tidak, aku baru sekali mendengar nama “Teatrikal”, dan sepintas juga aku mengusulkan untuk dilakukan oleh kami semua.
 

Setelah kesepakatan itu ada, maka tak serta merta menunggu hari H kami menjalani apa yang direncanakan. Terkhusus aku, sebab pengkoordinir acara “Pentas Seni” ini, maka harus memutar otak dan mengkondisikan suasana supaya acara berjalan dengan baik. 
 Persiapan bagiku adalah hal utama dalam kesuksesan rencana, oleh sebab itu setiap hari aku mencoba menghubungi panitia lain ataupun peserta lain untuk mempersiapkan ini dengan matang.
 

Berkenaan dengan hal banyaknya persiapan ini, banyak orang yang menyebutku banyak tingkah, banyak pola, ataupun yang lain. Aku mendengar itu semua, tapi memang sepertinya kultur itu harus aku bangun dari diriku sendiri. Memang terkesan membosankan karena dihadapkan perbincangan demi perbincangan, tapi bagiku itulah poin dimana nantinya akan mendapatkan suatu titik tengah yang dinamai solusi.
  Akhirnya tanggal 18 datang dengan bahagia, bahkan langit pun terharu. Hujan dari malam masih terus mengguyuri hingga pukul 9 pagi. Hal ini pula membuat lapangan yang digunakan untuk acara menjadi sebagian becek. Tapi itu bukanlah masalah bagi kami. Tentunya hari akan berganti dan rencana pastilah terlaksana, dan sekarang tinggal menjadi sebuah kenangan indah yang menentramkan jiwa. 

Tanpa harus menceritakan satu per satu runtutan cerita, terkhusus beberapa hal yang kuanggap paling menyentuh hati adalah suksesnya acara ini tanpa ada runtutan acara yang hilang dan semua guru bahagia dengan adanya kegiatan budaya yang sekaligus menjadi daya tarik tersendiri bagi siswa untuk kemudian mempelajarinya. 










Terkhusus di penghujung acara, aku diberikan kesempatan untuk membacakan sebuah “Pesan Kesan” kami selama 2 bulan menjalani masa P4 ini. Aku terharu, rasanya ingin menangis sendiri. Padahal puisi (lebih tepatnya rangkaian kata sederhana) itu baru dibuat pagi sebelum berangkat ke sekolah dan aku juga belum pernah pula membaca puisi di depan umum.


 

Di bawah ini ada naskah “Teatrikal” yang kubuat dan kami tampilkan.

Bukanlah Masa Umar Bakri (Lagi)
(narator : ranchan)

Langit begitu cerah dengan pancaran matahari yang lembut. Angin berhembus lirih dari sebelah utara memberikan kedamaian bagi penghuni bumi. Belum lagi, burung-burung berkicau riuh saling sahut menyahut dari ranting pepohonan nan rindang.
(Dibacakan yang hanya diikuti instrumen musik/mustamir)
 Dari kejauhan, terlihatlah seorang guru berjalan kaki melewati jalan yang berdebu. Kecintaannya untuk menjalankan tugas meleburkan pikiran akan jarak yang harus ditempuh dari rumahnya menuju ke sekolah. Tak kurang 2 km jalan berdebu itu setiap pagi dan siang dia lewati dengan berjalan kaki.
(Udin berjalan dari bawah panggung menuju ke atas panggung—Mustamir mengiringi dengan musik “Umar Bakri”, lalu ada beberapa siswa bersalaman dengan guru tersebut)
Halaman bumi Pertiwi bertebaran dedaunan dan sampah di beberapa sisi. Lalu lalang siswa adalah suatu kepastian yang dapat bola mata saksikan sebelum pemersatu waktu menyatakan pembelajaran dimulai.
(siswa berlalu lalang di halaman sekolah)
Ketika itu, datanglah seorang guru dengan wajah yang bersinar dan suara yang lembut meminta siswa untuk membersihkan sampah-sampah pada tempatnya.
(datanglah seorang guru yang selalu menebar senyum dan kesabaran, mas UDIN/Baju batik. Meminta siswa untuk mengambil sampah-sampah. Mendekati tiap-tiap perkumpulan siswa)
Di sana, hanya ada beberapa siswa saja yang tergerak untuk membersihkan sampah-sampah yang berserakan di halaman sekolah.
(ada 4 – 6 siswa yang ingin mengambil sampah, ali ,ferdi, selly, risna, yani,)
Di sisi lain, ada beberapa siswa yang hanya asyik ngobrol bersama temannya (reni, keke, selfi, melisa, wahyu),  makan-makan (nanti akan membuang sampahnya sembarangan: lika, henni, donni, m.sep, wirda), bahkan sebagian lainnya asyik bergaya bak fhoto model profesional (yeni, suci, jessi, panca, nena).
Tak hanya diam, guru berulang kali meminta siswa untuk membersihkan akan tetapi siswa-siswa kurang memperdulikan apa yang dicuapkan guru.
 (udin)
(instrumen musik sekitar 10-25 detik—sembari semua siswa membersihkan sampah yang tersisa di panggung, lalu semua ke pinggir panggung dan memegang buku masing-masing, kecuali suci tidak memegang buku dan tetap dipinggir karena siswa kelaslainnya)
Dalam ruangan kelas, siswa terlihat sedang memegang bukunya masing-masing. Tatapan mereka hanya tertuju pada dua arah, jika tak menatap buku maka gurulah pusat perhatian.
(Siswa berdiri memegang buku di depan kelas dan sesekali menatap guru)
Guru menyampaikan satu per satu materi dengan penuh perhatian. Setiap kali guru ditanyakan perihal pemahaman akan pelajaran yang dipelajari maka setiap itu siswa mengiyakan.
(Guru menanyakan kepada siswa—sedang siswa hanya menganggukkan kepala berulang kali sesuai banyaknya pertanyaan)
Pada kesempatan yang tak disengaja tepatnya menjelang istirahat, saat guru harus menuju ke ruangan kantor (guru sedikit menjauh dengan berbalik arah), ada dua siswa bertengkar (ali dan ferdi) di depan kelas, ada seorang siswa mencoba memisahkan namun siswa lainnya terlihat riang melihat pertengkaran itu. Pada kesempatan yang sama, seorang siswa (suci datang sedikit berlari tapi langkahnya kecil sekali karena panggungnya kecil) mengabarkan pada guru bahwasannya telah terjadi pertengkaran (ferdi dan ali saling berpukulan di tengah lapangan). Ketika melihat pertengkaran itu, guru langsung menyuruh kedua siswa tersebut untuk saling bermaafan.
(Instrumen beberapa detik sebagai jedah dan semua siswa menuju pinggir panggung).
Angin berhembus lirih. Detik-detik mengalir begitu cepat, sangat cepat! seperti tiada jedah untuk memberhentikan nafas hanya untuk sekedar menahan segala penderitaan yang mendapati tubuh.
(masih dalam instrumen)
 Guru berjalan menuju ruang kepala sekolah dengan aura bahagia. (guru memasuki ruangan kepala sekolah). Seperti pada bulan-bulan sebelumnya, ia selalu melakukan hal sama. Di dalam ruangan, kepala sekolah telah mempersiapkan amplop-amplop yang disediakan untuk para guru. (kepala sekolah/keke dengan baju di dalam, memberikan sebuah amplop kepada udin).
Dibukalah amplop tersebut, dan satu per satu lembar yang  ia hitung secara hati-hati. Pada perulangan yang sama, ternyata sudah tepatlah uang yang diberikan. (Udin membuka amplop dan menghitung isinya hingga beberapa kali untuk memastikan apakah benar isi dalam amplop tersebut).
Di dalam pikirannya, sudah lengkaplah pembagian uang itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tak seberapa. Ia tersenyum kecil, pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah dan kembali ke rumahnya. Seperti biasa, ia harus berjalan kaki menyusuri jalan berdebu. Matahari membakar kulitnya. Sangat panas! Barulah sampai di halaman sekolah, tiba-tiba ia terkena serangan jantung dan tersungkur di tanah. Angin berdesir, mengalir dan suasana menjadi getir sebab guru telah meninggal ditempat. Serentak seluruh siswa di sana terhentak, mereka berteriak histeris tatkala di mata mereka terlihat terbujur kaku guru mereka, hingga mengucur juga airmata tak hingga dari kelopak matanya.
(di akhiri dengan seluruh siswa melihat ke arah guru yang tergeletak di jalan dan menangis dengan mengeluarkan tisu seperti orang menangis, diringi oleh lagu “Gugur Bunga” )

Betapa hatiku takkan pilu
(Betapa hati kita takkan pilu)
Telah gugur pahlawanku
(Telah gugur pahlawan kita)
Betapa hatiku takkan sedih
(Pahlawan terbujur kaku di hadapan kita)
Hamba ditinggal sendiri
(Tanpa pernah kita menduganya)
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Siapakah kini plipur lara
(Siapa lagi yang akan memdidik kami)
Nan setia dan perwira
(Penuh perhatian dan kasih sayang)
Siapakah kini pahlawan hati
(Siapakah lagi yang akan membela kami)
Pembela bangsa sejati
(Hingga mempertaruhkan jiwa dan raganya)

Reff :
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh sribu
Tanah air jaya sakti

Selama Reff membaca ini :
(Ini adalah gambaran seorang guru pada masa dulu, meskipun kuranglah sesuai gaji yang didapatkan mereka tak pernah menghirau. Bagi mereka mencerdaskan bangsa adalah tujuan yang mulia. Kini, pemerintah sudah memperhatikan nasib guru. Guru diberikan kelipatan gaji melalui sertifikasi. Guru diberikan kesempatan untuk belajar lebih dengan memberikan pelatihan dan pertukaran guru. Guru kini dan guru masa dulu adalah sama, pahlawan kita. Tak pernah mengeluh dan rela mengorbankan jiwa dan raga untuk kemajuan bangsa)*


Akhir kata pada kesempatan ini, sesuatu akan indah pada waktunya. Dan proses menjadi pelicin jalan menuju pencapaian keindahan tersebut.

Kamar Kos, 07 Februari 2014.
Wahyu Wibowo

0 komentar:

Posting Komentar