Bismillahirrahmaanirrohiim...
Kali ini aku akan menceritakan
sedikit kisah mengenai perjalanan “Akademik” yang mesti kujalani dalam
kehidupan kampus ini. Ada hal paling mengesankan saat aku melakukan
pembelajaran mengajar di SMAN 1 Indralaya Selatan (Intan) yang disebut P4 atau
bahasa umumnya PPL. Hal yang menarik hati untuk kemudian selalu diselami dan
semayami dalam hati, yaitu berani mencoba dan kerja keras yang disertai
persiapan yang mateng. Begitulah orang
menyebutnya.
Dua minggu sebelum perpisahan,
aku mengusulkan dengan diadakannya Pensi (Pentas Seni) yang aktor utama dalam
kegiatan ini semua mahasiswa P4 dan juga siswa. Hanya ada beberapa awalnya yang
menyetujui ideku ini, terlagi ketika aku menyebut “Teatrikal” di salah satu
runtutan agendanya. Entah itu termasuk Teatrikal ataupun apa, yang jelas aku
baru pertama mendengar kata itu ketika hendak “Pergelaran Malam Budaya” di Forum
Indonesia Muda atau yang tak asing dikenal dengan FIM15, sehingga aku pula
ingin mencobanya kembali di SMA itu bersama teman-teman yang lain.
Melalui prosesi diskusi
panjang, akhirnya teman-teman menerima ide yang jika dipikir “Gila” ini. Bagaimana
tidak, aku baru sekali mendengar nama “Teatrikal”, dan sepintas juga aku
mengusulkan untuk dilakukan oleh kami semua.
Setelah kesepakatan itu ada,
maka tak serta merta menunggu hari H kami menjalani apa yang direncanakan.
Terkhusus aku, sebab pengkoordinir acara “Pentas Seni” ini, maka harus memutar
otak dan mengkondisikan suasana supaya acara berjalan dengan baik.
Persiapan bagiku adalah hal
utama dalam kesuksesan rencana, oleh sebab itu setiap hari aku mencoba
menghubungi panitia lain ataupun peserta lain untuk mempersiapkan ini dengan
matang.
Berkenaan dengan hal banyaknya
persiapan ini, banyak orang yang menyebutku banyak tingkah, banyak pola,
ataupun yang lain. Aku mendengar itu semua, tapi memang sepertinya kultur itu
harus aku bangun dari diriku sendiri. Memang terkesan membosankan karena
dihadapkan perbincangan demi perbincangan, tapi bagiku itulah poin dimana
nantinya akan mendapatkan suatu titik tengah yang dinamai solusi.
Akhirnya
tanggal 18 datang dengan bahagia, bahkan langit pun terharu. Hujan dari malam
masih terus mengguyuri hingga pukul 9 pagi. Hal ini pula membuat lapangan yang
digunakan untuk acara menjadi sebagian becek. Tapi itu bukanlah masalah bagi
kami. Tentunya hari akan berganti dan rencana pastilah terlaksana, dan sekarang
tinggal menjadi sebuah kenangan indah yang menentramkan jiwa.
Tanpa harus menceritakan satu per satu runtutan cerita,
terkhusus beberapa hal yang kuanggap paling menyentuh hati adalah suksesnya
acara ini tanpa ada runtutan acara yang hilang dan semua guru bahagia dengan
adanya kegiatan budaya yang sekaligus menjadi daya tarik tersendiri bagi siswa
untuk kemudian mempelajarinya.
Terkhusus di penghujung acara, aku diberikan kesempatan
untuk membacakan sebuah “Pesan Kesan” kami selama 2 bulan menjalani masa P4
ini. Aku terharu, rasanya ingin menangis sendiri. Padahal puisi (lebih tepatnya
rangkaian kata sederhana) itu baru dibuat pagi sebelum berangkat ke sekolah dan
aku juga belum pernah pula membaca puisi di depan umum.
Di bawah ini ada naskah “Teatrikal” yang kubuat dan kami
tampilkan.
Bukanlah Masa Umar Bakri (Lagi)
(narator : ranchan)
Langit begitu cerah dengan pancaran matahari yang
lembut. Angin berhembus lirih dari sebelah utara memberikan kedamaian bagi
penghuni bumi. Belum lagi, burung-burung berkicau riuh saling sahut menyahut dari
ranting pepohonan nan rindang.
(Dibacakan yang hanya diikuti instrumen
musik/mustamir)
Dari kejauhan,
terlihatlah seorang guru berjalan kaki melewati jalan yang berdebu. Kecintaannya
untuk menjalankan tugas meleburkan pikiran akan jarak yang harus ditempuh dari
rumahnya menuju ke sekolah. Tak kurang 2 km jalan berdebu itu setiap pagi dan
siang dia lewati dengan berjalan kaki.
(Udin berjalan dari bawah panggung menuju ke atas
panggung—Mustamir mengiringi dengan musik “Umar Bakri”, lalu ada beberapa siswa
bersalaman dengan guru tersebut)
Halaman bumi Pertiwi bertebaran dedaunan dan
sampah di beberapa sisi. Lalu lalang siswa adalah suatu kepastian yang dapat
bola mata saksikan sebelum pemersatu waktu menyatakan pembelajaran dimulai.
(siswa berlalu lalang di halaman sekolah)
Ketika itu, datanglah seorang guru dengan wajah
yang bersinar dan suara yang lembut meminta siswa untuk membersihkan
sampah-sampah pada tempatnya.
(datanglah seorang guru yang selalu menebar senyum
dan kesabaran, mas UDIN/Baju batik. Meminta siswa untuk mengambil
sampah-sampah. Mendekati tiap-tiap perkumpulan siswa)
Di sana, hanya ada beberapa siswa saja yang tergerak
untuk membersihkan sampah-sampah yang berserakan di halaman sekolah.
(ada 4 – 6 siswa yang ingin mengambil sampah, ali
,ferdi, selly, risna, yani,)
Di sisi lain, ada beberapa siswa yang hanya asyik
ngobrol bersama temannya (reni, keke, selfi, melisa, wahyu), makan-makan (nanti akan membuang sampahnya
sembarangan: lika, henni, donni, m.sep, wirda), bahkan sebagian lainnya asyik
bergaya bak fhoto model profesional (yeni, suci, jessi, panca, nena).
Tak hanya diam, guru berulang kali meminta siswa
untuk membersihkan akan tetapi siswa-siswa kurang memperdulikan apa yang
dicuapkan guru.
(udin)
(instrumen musik sekitar 10-25 detik—sembari semua
siswa membersihkan sampah yang tersisa di panggung, lalu semua ke pinggir
panggung dan memegang buku masing-masing, kecuali suci tidak memegang buku dan
tetap dipinggir karena siswa kelaslainnya)
Dalam ruangan kelas, siswa terlihat sedang
memegang bukunya masing-masing. Tatapan mereka hanya tertuju pada dua arah,
jika tak menatap buku maka gurulah pusat perhatian.
(Siswa berdiri memegang buku di depan kelas dan
sesekali menatap guru)
Guru menyampaikan satu per satu materi dengan
penuh perhatian. Setiap kali guru ditanyakan perihal pemahaman akan pelajaran yang
dipelajari maka setiap itu siswa mengiyakan.
(Guru menanyakan kepada siswa—sedang siswa hanya
menganggukkan kepala berulang kali sesuai banyaknya pertanyaan)
Pada kesempatan yang tak disengaja tepatnya
menjelang istirahat, saat guru harus menuju ke ruangan kantor (guru sedikit
menjauh dengan berbalik arah), ada dua siswa bertengkar (ali dan ferdi) di
depan kelas, ada seorang siswa mencoba memisahkan namun siswa lainnya terlihat
riang melihat pertengkaran itu. Pada kesempatan yang sama, seorang siswa (suci
datang sedikit berlari tapi langkahnya kecil sekali karena panggungnya kecil)
mengabarkan pada guru bahwasannya telah terjadi pertengkaran (ferdi dan ali
saling berpukulan di tengah lapangan). Ketika melihat pertengkaran itu, guru
langsung menyuruh kedua siswa tersebut untuk saling bermaafan.
(Instrumen beberapa detik sebagai jedah dan semua
siswa menuju pinggir panggung).
Angin berhembus lirih. Detik-detik mengalir begitu
cepat, sangat cepat! seperti tiada jedah untuk memberhentikan nafas hanya untuk
sekedar menahan segala penderitaan yang mendapati tubuh.
(masih dalam instrumen)
Guru
berjalan menuju ruang kepala sekolah dengan aura bahagia. (guru memasuki
ruangan kepala sekolah). Seperti pada bulan-bulan sebelumnya, ia selalu
melakukan hal sama. Di dalam ruangan, kepala sekolah telah mempersiapkan
amplop-amplop yang disediakan untuk para guru. (kepala sekolah/keke dengan baju
di dalam, memberikan sebuah amplop kepada udin).
Dibukalah amplop tersebut, dan satu per satu
lembar yang ia hitung secara hati-hati.
Pada perulangan yang sama, ternyata sudah tepatlah uang yang diberikan. (Udin
membuka amplop dan menghitung isinya hingga beberapa kali untuk memastikan
apakah benar isi dalam amplop tersebut).
Di dalam pikirannya, sudah lengkaplah pembagian
uang itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tak seberapa. Ia tersenyum
kecil, pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah dan kembali ke rumahnya.
Seperti biasa, ia harus berjalan kaki menyusuri jalan berdebu. Matahari
membakar kulitnya. Sangat panas! Barulah sampai di halaman sekolah, tiba-tiba
ia terkena serangan jantung dan tersungkur di tanah. Angin berdesir, mengalir
dan suasana menjadi getir sebab guru telah meninggal ditempat. Serentak seluruh
siswa di sana terhentak, mereka berteriak histeris tatkala di mata mereka
terlihat terbujur kaku guru mereka, hingga mengucur juga airmata tak hingga dari
kelopak matanya.
(di akhiri dengan seluruh siswa melihat ke arah
guru yang tergeletak di jalan dan menangis dengan mengeluarkan tisu seperti
orang menangis, diringi oleh lagu “Gugur Bunga” )
Betapa hatiku takkan pilu
(Betapa hati kita takkan pilu)
Telah gugur pahlawanku
Telah gugur pahlawanku
(Telah gugur pahlawan kita)
Betapa hatiku takkan sedih
Betapa hatiku takkan sedih
(Pahlawan terbujur kaku di hadapan kita)
Hamba ditinggal sendiri
(Tanpa pernah kita menduganya)
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Siapakah kini plipur lara
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Siapakah kini plipur lara
(Siapa lagi yang akan memdidik kami)
Nan setia dan perwira
Nan setia dan perwira
(Penuh perhatian dan kasih sayang)
Siapakah kini pahlawan hati
(Siapakah lagi yang akan membela kami)
Pembela bangsa sejati
Pembela bangsa sejati
(Hingga mempertaruhkan jiwa dan raganya)
Reff :
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh sribu
Tanah air jaya sakti
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh sribu
Tanah air jaya sakti
Selama Reff membaca ini :
(Ini adalah gambaran seorang guru pada masa
dulu, meskipun kuranglah sesuai gaji yang didapatkan mereka tak pernah
menghirau. Bagi mereka mencerdaskan bangsa adalah tujuan yang mulia. Kini,
pemerintah sudah memperhatikan nasib guru. Guru diberikan kelipatan gaji
melalui sertifikasi. Guru diberikan kesempatan untuk belajar lebih dengan
memberikan pelatihan dan pertukaran guru. Guru kini dan guru masa dulu adalah
sama, pahlawan kita. Tak pernah mengeluh dan rela mengorbankan jiwa dan raga
untuk kemajuan bangsa)*
Akhir kata pada kesempatan
ini, sesuatu akan indah pada waktunya. Dan proses menjadi pelicin jalan menuju
pencapaian keindahan tersebut.
Kamar Kos, 07 Februari 2014.
Wahyu Wibowo
0 komentar:
Posting Komentar