Oleh : Wahyu Wibowo
Gerimis memandu kelebat rasa rindu. Rintiknya mencumbu jiwa yang sejak lama
telah menanti. Baru kali ini, malam hadirkanku sendirian dalam bedeng tua.
Malam yang rencananya akan kupergunakan untuk rangkai beberapa baris kata untuk
dikirimkan ke media lokal. Malam yang dengannya aku dapat merasakan betapa
tulang begitu hampa. Malam yang dengannya aku berbagi cerita hanya dengan
Tuhanku di sudut bedengan. Malam yang dengannya aku merasakan kecambuk pikiran
yang tak kunjung usai. Malam, ah...entahlah, tak mampu kuuraikan selentur
selendang sutra pada bidang logika untuk dijadikan bahan ejaan.
Di luar jendela
Bulir air hujan menetesi muka daun, rumput, dan teras bedeng. Merembab,
merambat ke sekujur pori-pori di kemiringan tanah. Aku menatapnya rekat.
Bulir yang ingatkanku ketika masih di SMA dulu. Ketika itu, di sebuah anak
tangga seperti biasa meramu canda. Di wajah-wajah kami tersembul rona terindah
seraya menangkap pasat bulir air hujan yang secara bergantian turun dari
langit. Aku tiba-tiba merasakan inilah selang waktu terbentang yang tepat untuk
merangkai kisah terindah sepanjang masa.
Sebentar kutatap langit, ia masih saja
benderang dengan pancarnya seperti biasa pun ketika gumpalan awan mengepung
pengarahannya ke sisi Bumi. Bersamaan itu, merapat onak-onak benak menyiasati
jejak lewat hasutan alur hidup tak dapat ditebak. Karenanya aku
terkatung-katung pada pilihan yang menguras keringat. Berhamburan bulirnya dari
semua pori, tak seperti biasa. Serupa musim ketika berpaling dari kemarau
menjadi hujan, tak tertahan lagi oleh jampi-jampi gumpalan bulir hujan menghujam
sisi Bumi. Bahkan sepanjang siang dan malam bukanlah sebagai penghalang.