Oleh : Wahyu Wibowo
Gerimis memandu kelebat rasa rindu. Rintiknya mencumbu jiwa yang sejak lama
telah menanti. Baru kali ini, malam hadirkanku sendirian dalam bedeng tua.
Malam yang rencananya akan kupergunakan untuk rangkai beberapa baris kata untuk
dikirimkan ke media lokal. Malam yang dengannya aku dapat merasakan betapa
tulang begitu hampa. Malam yang dengannya aku berbagi cerita hanya dengan
Tuhanku di sudut bedengan. Malam yang dengannya aku merasakan kecambuk pikiran
yang tak kunjung usai. Malam, ah...entahlah, tak mampu kuuraikan selentur
selendang sutra pada bidang logika untuk dijadikan bahan ejaan.
Di luar jendela
Bulir air hujan menetesi muka daun, rumput, dan teras bedeng. Merembab,
merambat ke sekujur pori-pori di kemiringan tanah. Aku menatapnya rekat.
Bulir yang ingatkanku ketika masih di SMA dulu. Ketika itu, di sebuah anak
tangga seperti biasa meramu canda. Di wajah-wajah kami tersembul rona terindah
seraya menangkap pasat bulir air hujan yang secara bergantian turun dari
langit. Aku tiba-tiba merasakan inilah selang waktu terbentang yang tepat untuk
merangkai kisah terindah sepanjang masa.
Sebentar kutatap langit, ia masih saja
benderang dengan pancarnya seperti biasa pun ketika gumpalan awan mengepung
pengarahannya ke sisi Bumi. Bersamaan itu, merapat onak-onak benak menyiasati
jejak lewat hasutan alur hidup tak dapat ditebak. Karenanya aku
terkatung-katung pada pilihan yang menguras keringat. Berhamburan bulirnya dari
semua pori, tak seperti biasa. Serupa musim ketika berpaling dari kemarau
menjadi hujan, tak tertahan lagi oleh jampi-jampi gumpalan bulir hujan menghujam
sisi Bumi. Bahkan sepanjang siang dan malam bukanlah sebagai penghalang.
Aku membolak-balikkan pena dari tangan kiri ke tangan
kanan. Pandangan hampa, sejenak. Debaran jantung berdetak tak terkendali sekalipun
gerimis menuntun dengan lembut dan penuh rasa cinta agar lantunan terus stabil.
“Ehm...kenapa hanya diam?” godamu kala itu,
lirikan matamu semakin mendebarkan hati.
“Pasti ada apa-apanya.” cetus Nosi dan Delta
berbarengan. Paras muka mereka naik turun semakin menyesakkan hatiku.
Aku hanya diam. “Hei…! Pulang yuk!” ajak
mereka.
“Ayuuk...” cetusku tanpa sadar. Bibir mereka
mengiramakan riang bukan kepalang. Lucu akan tingkahku yang aneh akhir-akhir
ini.
“Masih hujan, Pak.” ujar Delta tersenyum.
Wajahku masam.
“Oh…”masih terlalu berat bagiku ungkapkan
perasaan yang berkecamuk di kepalaku. Perasaan yang timbul karena kedekatan
sejak canda tawa di kelas seminggu lalu. Cinta? Ah…sungguh menyiksa jiwa.
Rumput girang bergoyangan, menyanyikan sebuah
lagu kebahagiaan. Aku menatapnya dengan sejuta pertanyaan yang mengendap sejak
setahun lalu. Lalu setetes bulir airhujan menempel di tangan yang kurebahkan di
jendela menyadarkan dari satu pandangan ke rumput.
Aku gelagapan. Urat-urat serasa tercabut. Hati
kalut. Badan serasa penuh kabut. Aku bersegera menyandar dipan reot.
“Ada apa ini gusti Allah?” aku memejamkan mata
sejenak. “Astaghfirullah. Maafkan hamba atas khilaf yang telah terbuat.”
Memang, aku terlalu lemah sebagai insan.
Seminggu berlalu setelah bisikan naluri melengkungkan nafsu yang mengerat-ikat
tentang dunia remaja penuh retorika semata dan gairah bahagia tanpa memperdulikan
akibat dari tingkah yang menyala, aku terbelenggu lagi dengan namanya cinta.
Ya, cinta untuk pertama kalinya pada lawan jenis. Bagaimana tidak selama ini
aku hanya menghijabkan diri dengan makhluk yang namanya wanita.
Aku merasa terjerat. Tak dapat bergerak. Gelap
dan gelagapan. Setelah selang beberapa bulan menjalani sebuah hubungan yang
melebihi persahabatan. Bukan juga disebut pacaran. Barangkali bisa disebut
teman kasih sayang. Ketika itu, aku selalu menuruti apa yang diucapkannya.
Entah mengapa sejak ia menceritakan tentang vonis dokter padanya bahwa ia telah
menapaki senja, aku enggan berbuat salah. Sedikitpun itu. Tetapi di
suatu waktu, kudapati bahwa hanyalah sebagai pemanfaatan saja diriku ia dekati.
Sebagai penjawab soal mata pelajaran yang rata-rata didapatnya di bawah standar
yang telah ditetapkan pihak sekolah. Belum lagi, pada selang yangs ama ada dua
pria yang tercatat sebagai pacarnya. Salah satunya adalah sahabat karibku.
Langit terbelah
Memuntahkan nodanoda
Mengusung Pagi
Semayam berlinang air mata dalam Qiyamul Lail, curahkan semua rasa.
Segala gundah. Air mata cinta hamba pada sang Khalik. Cinta hakiki.Ketika
kokokan ayam memanggil, aku bangun dari sejadahku. Membawa segenggam cinta
mengembara di bumi fana. Bumi yang penuh sandiwara.
Segenggam cinta merapali hati jejaki jalan
Di bumi, adanya fana kenikmatan
Kelak, baka menanti senyum takhingga
Hehijauan mendapatiku setelah langkah kaki tak usai melangkah. Bukan, akulah
yang mendapati hehijauan pohon. Welcome to jungle, kata seniorku dari
daerah pada suatu waktu. Kata singkat yang sempat menguntit paradigmaku dengan
irama muram-bahagia. Pernah aku terdiam karenanya. Jungle, ah..bukannya
Unsri berada di kota, ujarku dalam hati kala itu.
Senyuman dari pori daun mendekatiku. Sungguh anggun. Di baliknya kumpulan angin
membelai mesra. Begitu lekat rasanya menembus dinding tubuh. Aku tersentuh.
Menikmatinya dalam waktu yang tak dapat kuhitung lamanya.
“Kampusku.”aku riang mendatanginya ketika sepi
masih merayapi. Ketika embun masih lembutmenggerayapi.
Jalan Setapak Samping Dekanat
Petakpetak mimpi apakah yang semalam membingkai ketika tidur
Ketika palung hari berangsur mendapati
Suara getar menghampiri, membuka selimut hati yang terbungkus suri
Tak terasa, setahun sudah aku meruangi kampus
baruku. Jungle, sebutan yang sering kudengar tentangnya baik secara tersurat
ataupun tersirat. Lebih sering mendengar secara tersirat yang muncrat dari
lawan bicara. Selain itu, kata yang seolah tak pernah lepas dariku. Pernah,
sampai kebisingan itu memahat hingga titik jenuh. Sisi lain, semakin sering
kata itu menyusup rongga telinga, rasa cinta padanya semakin dalam. Mendarah
daging bahkan. Sekalipun sebagian ruang masih terpajang keping-keping mimpi
tentang khayalan anak berusia dini.
Dan bersebab ada seorang yang telah mencuri
hatiku. Bertepatan itu, rasaku menggelayut bahwa ia adalah tulung rusukku yang
hilang. Seringkali aku memalingkan muka saat tatap tak sengajaku didapatinya.
Betapa tidak, kami berada dalam satu ruang dalam perhelatan mengejar masa
depan. Pun ketika masalah menggerayangi diriku, ia dengan halus membantu
pecahkan masalah tanpa harus lebih dulu kuminta. Terkadang membelaku ketika aku
terpojok dengan auman yang rasanya menghendaki kelumpuhanku. Aku terkesima. Aku
terpanah. Aku tak berdaya atas perlakuan lembutnya. O, beruntungnya aku berada
dalam ruang yang sejatinya belum sepenuh hati kucintai. Karena sedikit celah
mimpi masih kusimpan rapi dalam hati, Yogyakarta.
Sinar begitu cerah hari itu. Secerah hatiku?
Cerah yang kudapat dari apa hendak yang ingin didapat. Cerah yang menyingsing
dahaga hati di luasnya gurun sahara. Cerah yang darinya melahirkan rongga
berperi, lalu darinya menyinari penjuru agar kelam tak lagi menyelami.
“Darimana Wan? Mau kemana?” rentetan pertanyaan yang sumber suaranya
berseberangan dariku. Suara seorang wanita yang sangat kukenali. Suara lembut
yang kerap kal iberisikan nasihat dan motivasi. Muti, benar seorang yang selalu
menasehatiku ketika salah kulakui. Seseorang yang telah kuanggap saudara
kandungku sendiri. Tak jarang kulimpahkan resah dan gundah gulanaku padanya, dan
tak jarang ia berikan solusi yang
kuanggap angin lembut untuk kunikmati.
Jalan setapak samping dekanat menyaksikan gerak
kakiku. Dicatatnya sebagai sejarah bahwa aku sering menginjaknya di Jungle
campus itu.
“Mau ke kantor administrasi, mbak?” wajahku
membaca raut wajahnya. Lalu tersenyum kecil.
“ngapain?”
“Mau ambilkan transkrip nilai kak Nirman.”
“Adakah waktu
sejenak untuk bicara?” ia menatapku. “Sekarang!” lanjutnya.
Aku terdiam.
“Levi mau ngomong denganmu?”
aku semakin terdiam. Menunduk lalu melihat Levi sejenak. Di pelipisnya ada
bening air mata yang entah tak kuketahui kenapa. Bening keraguan yang
menggeliat di hati untuk disimpati. Aku binggung. Entah apa yang hendak
kuperbuat jika sudah melihat bulir mata seorang wanita. Apalagi wanita yang
selama ini begitu akrab denganku. Ketika aku masih duduk di bangku sekolah pun
tak jarang teman-temanku menjahiliku karena sifatku yang terlalu takut pada
wanita.
“Ngomonglah Lev?” mintanya lebih dalam pada
Levi.
Aku hanya diam. Kerongkonganku tersumbat oleh
sekat hati yang aku tak tau isinya. Hanyalah menatap penuh khidmat mendengar
kata-kata yang beterbangan di rongga telingaku. Seperti orang yang terserang
penyakit stroke, tubuhku tak kuasa digerakkan.
Seperti dirajam kesalahan besar yang diperbuat. Aku menangkap rasa malu atas pembicaraan
yang menyingkap waktuku. Ya, bulir airmata itu. Bulir airmata yang sebenarnya
hanya berapa tetes. Tapi rasa salahku lebih besar dari bulir airmata itu.
Levi berlalu tanpa bias katapun. Muti mengikuti di belakangnya. Sedang aku
tetap terpaku. Membisu.
Kamar Rantau
Malam membisikkan kata-kata lewat suara angin yang berhembus dari luar jendela.
Aku menangkap kata itu. Persis kata-kata percakapan tadi siang yang membuatku
mati langkah, tak berdaya. Kembali rasa salah menggeliat di hati. Mencambuki.
Rahasia tentang hati:antara kita berdua
Ibarat kata dan frasa dalam satu makna
Tak lelah bersenggama meyakinkan logika
Rahasia tentang hati:dalam satu rasa
Meski jeda jumpa mendarah doadoa
Suatu
perlengkapan cerita belum tentu senada dengan hati. Siapa tau rahasia tentang hati?
Untuk kali ini, suara hatiku menyerudup lebih jauh. Bisiknya meyakinkan. Dan
aku pun paham akan sebuah ikatan meski selama ini dianggap sekedar candaan. Ya,
siapa tau isi hati? Ia ingin mengungkapkan rasa jalinan kasih padaku.
Getir hati setelah itu. getir haru. Getir kesal karena melesapkan lenyap sempat
yang sudah ditetap berbulan-bulan. Terlagi bukan aku yang menuturkan pertama,
tapi dia. O, memang waktu tak berpihak padaku. Ternyata selama ini dia memendam
rasa yang sama. Mataku melayu.
Seminggu Berlalu
Gemuruh menyatu pada ruang rindu
Gemuruh meluluhlantahkan bibir cintaku
Memang setelah pertemuan di jalan setapak samping dekanat tiada lagi
perbincangan antara aku, Levi dan Muti. Sempat aku menanyai Levi mengenai siang
itu melalui SMS, tetapi kudapati hanya balasan singkat bahwa tak ada masalah
apa-apa yang sedang ia hadapi. Setelah itu, aku membiarkan ia untuk merehatkan
pikiran supaya kembali bercahaya. Tak berkunang.
Seperti terumbu karang yang dihantam tsunami, aku remuk. Berserakkan mengikuti
arah deburan ombak. Ketika pandangan mata tertuju pada seorang yang
seminggu lalu kulihat meneteskan bulir airmata. Levi, ternyata raut wajahnya
telah berubah drastis. Sungguh manis. Sayangnya, karena kemanisan itulah aku
remak redam. Hilang harapan dan cahaya benderang. Di sana Levi menguntai kata
dan merebahkan cinta pada sesosok orang yang baru sebulan kukenal. O, malangnya
diri ini.
Mata memerah
Cinta:tak bersisa tak bernyawa(*)
0 komentar:
Posting Komentar