Laman

Jumat, 26 Juli 2013

Setelah Nyawa Itu Ada


Oleh : Wahyu Wibowo


             Gerimis memandu kelebat rasa rindu. Rintiknya mencumbu jiwa yang sejak lama telah menanti. Baru kali ini, malam hadirkanku sendirian dalam bedeng tua. Malam yang rencananya akan kupergunakan untuk rangkai beberapa baris kata untuk dikirimkan ke media lokal. Malam yang dengannya aku dapat merasakan betapa tulang begitu hampa. Malam yang dengannya aku berbagi cerita hanya dengan Tuhanku di sudut bedengan. Malam yang dengannya aku merasakan kecambuk pikiran yang tak kunjung usai. Malam, ah...entahlah, tak mampu kuuraikan selentur selendang sutra pada bidang logika untuk dijadikan bahan ejaan.

Di luar jendela

            Bulir air hujan menetesi muka daun, rumput, dan teras bedeng. Merembab, merambat ke sekujur  pori-pori di kemiringan tanah. Aku menatapnya rekat. Bulir yang ingatkanku ketika masih di SMA dulu. Ketika itu, di sebuah anak tangga seperti biasa meramu canda. Di wajah-wajah kami tersembul rona terindah seraya menangkap pasat bulir air hujan yang secara bergantian turun dari langit. Aku tiba-tiba merasakan inilah selang waktu terbentang yang tepat untuk merangkai kisah terindah sepanjang masa.

Sebentar kutatap langit, ia masih saja benderang dengan pancarnya seperti biasa pun ketika gumpalan awan mengepung pengarahannya ke sisi Bumi. Bersamaan itu, merapat onak-onak benak menyiasati jejak lewat hasutan alur hidup tak dapat ditebak. Karenanya aku terkatung-katung pada pilihan yang menguras keringat. Berhamburan bulirnya dari semua pori, tak seperti biasa. Serupa musim ketika berpaling dari kemarau menjadi hujan, tak tertahan lagi oleh jampi-jampi gumpalan bulir hujan menghujam sisi Bumi. Bahkan sepanjang siang dan malam bukanlah sebagai penghalang.


Aku membolak-balikkan pena dari tangan kiri ke tangan kanan. Pandangan hampa, sejenak. Debaran jantung berdetak tak terkendali sekalipun gerimis menuntun dengan lembut dan penuh rasa cinta agar lantunan terus stabil.

“Ehm...kenapa hanya diam?” godamu kala itu, lirikan matamu semakin mendebarkan hati.

“Pasti ada apa-apanya.” cetus Nosi dan Delta berbarengan. Paras muka mereka naik turun semakin menyesakkan hatiku.

Aku hanya diam. “Hei…! Pulang yuk!” ajak mereka.

“Ayuuk...” cetusku tanpa sadar. Bibir mereka mengiramakan riang bukan kepalang. Lucu akan tingkahku yang aneh akhir-akhir ini.

“Masih hujan, Pak.” ujar Delta tersenyum. Wajahku masam.

“Oh…”masih terlalu berat bagiku ungkapkan perasaan yang berkecamuk di kepalaku. Perasaan yang timbul karena kedekatan sejak canda tawa di kelas seminggu lalu. Cinta? Ah…sungguh menyiksa jiwa.

Rumput girang bergoyangan, menyanyikan sebuah lagu kebahagiaan. Aku menatapnya dengan sejuta pertanyaan yang mengendap sejak setahun lalu. Lalu setetes bulir airhujan menempel di tangan yang kurebahkan di jendela menyadarkan dari satu pandangan ke rumput.

Aku gelagapan. Urat-urat serasa tercabut. Hati kalut. Badan serasa penuh kabut. Aku bersegera menyandar dipan reot.

“Ada apa ini gusti Allah?” aku memejamkan mata sejenak. “Astaghfirullah. Maafkan hamba atas khilaf yang telah terbuat.”

Memang, aku terlalu lemah sebagai insan. Seminggu berlalu setelah bisikan naluri melengkungkan nafsu yang mengerat-ikat tentang dunia remaja penuh retorika semata dan gairah bahagia tanpa memperdulikan akibat dari tingkah yang menyala, aku terbelenggu lagi dengan namanya cinta. Ya, cinta untuk pertama kalinya pada lawan jenis. Bagaimana tidak selama ini aku hanya menghijabkan diri dengan makhluk yang namanya wanita.

Aku merasa terjerat. Tak dapat bergerak. Gelap dan gelagapan. Setelah selang beberapa bulan menjalani sebuah hubungan yang melebihi persahabatan. Bukan juga disebut pacaran. Barangkali bisa disebut teman kasih sayang. Ketika itu, aku selalu menuruti apa yang diucapkannya. Entah mengapa sejak ia menceritakan tentang vonis dokter padanya bahwa ia telah menapaki senja, aku enggan berbuat salah. Sedikitpun itu. Tetapi di suatu waktu, kudapati bahwa hanyalah sebagai pemanfaatan saja diriku ia dekati. Sebagai penjawab soal mata pelajaran yang rata-rata didapatnya di bawah standar yang telah ditetapkan pihak sekolah. Belum lagi, pada selang yangs ama ada dua pria yang tercatat sebagai pacarnya. Salah satunya adalah sahabat karibku.

            Langit terbelah
            Memuntahkan nodanoda

Mengusung Pagi
            Semayam berlinang air mata dalam Qiyamul Lail, curahkan semua rasa. Segala gundah. Air mata cinta hamba pada sang Khalik. Cinta hakiki.Ketika kokokan ayam memanggil, aku bangun dari sejadahku. Membawa segenggam cinta mengembara di bumi fana. Bumi yang penuh sandiwara.

            Segenggam cinta merapali hati jejaki jalan
            Di bumi, adanya fana kenikmatan
            Kelak, baka menanti senyum takhingga

            Hehijauan mendapatiku setelah langkah kaki tak usai melangkah. Bukan, akulah yang mendapati hehijauan pohon. Welcome to jungle, kata seniorku dari daerah pada suatu waktu. Kata singkat yang sempat menguntit paradigmaku dengan irama muram-bahagia. Pernah aku terdiam karenanya. Jungle, ah..bukannya Unsri berada di kota, ujarku dalam hati kala itu.

            Senyuman dari pori daun mendekatiku. Sungguh anggun. Di baliknya kumpulan angin membelai mesra. Begitu lekat rasanya menembus dinding tubuh. Aku tersentuh. Menikmatinya dalam waktu yang tak dapat kuhitung lamanya.

“Kampusku.”aku riang mendatanginya ketika sepi masih merayapi. Ketika embun masih lembutmenggerayapi.

Jalan Setapak Samping Dekanat

            Petakpetak mimpi apakah yang semalam membingkai ketika tidur
            Ketika palung hari berangsur mendapati
            Suara getar menghampiri, membuka selimut hati yang terbungkus suri
           
Tak terasa, setahun sudah aku meruangi kampus baruku. Jungle, sebutan yang sering kudengar tentangnya baik secara tersurat ataupun tersirat. Lebih sering mendengar secara tersirat yang muncrat dari lawan bicara. Selain itu, kata yang seolah tak pernah lepas dariku. Pernah, sampai kebisingan itu memahat hingga titik jenuh. Sisi lain, semakin sering kata itu menyusup rongga telinga, rasa cinta padanya semakin dalam. Mendarah daging bahkan. Sekalipun sebagian ruang masih terpajang keping-keping mimpi tentang khayalan anak berusia dini.

Dan bersebab ada seorang yang telah mencuri hatiku. Bertepatan itu, rasaku menggelayut bahwa ia adalah tulung rusukku yang hilang. Seringkali aku memalingkan muka saat tatap tak sengajaku didapatinya. Betapa tidak, kami berada dalam satu ruang dalam perhelatan mengejar masa depan. Pun ketika masalah menggerayangi diriku, ia dengan halus membantu pecahkan masalah tanpa harus lebih dulu kuminta. Terkadang membelaku ketika aku terpojok dengan auman yang rasanya menghendaki kelumpuhanku. Aku terkesima. Aku terpanah. Aku tak berdaya atas perlakuan lembutnya. O, beruntungnya aku berada dalam ruang yang sejatinya belum sepenuh hati kucintai. Karena sedikit celah mimpi masih kusimpan rapi dalam hati, Yogyakarta.

Sinar begitu cerah hari itu. Secerah hatiku? Cerah yang kudapat dari apa hendak yang ingin didapat. Cerah yang menyingsing dahaga hati di luasnya gurun sahara. Cerah yang darinya melahirkan rongga berperi, lalu darinya menyinari penjuru agar kelam tak lagi menyelami.
            “Darimana Wan? Mau kemana?” rentetan pertanyaan yang sumber suaranya berseberangan dariku. Suara seorang wanita yang sangat kukenali. Suara lembut yang kerap kal iberisikan nasihat dan motivasi. Muti, benar seorang yang selalu menasehatiku ketika salah kulakui. Seseorang yang telah kuanggap saudara kandungku sendiri. Tak jarang kulimpahkan resah dan gundah gulanaku padanya, dan tak jarang ia  berikan solusi yang kuanggap angin lembut untuk kunikmati.

Jalan setapak samping dekanat menyaksikan gerak kakiku. Dicatatnya sebagai sejarah bahwa aku sering menginjaknya di Jungle campus itu.

“Mau ke kantor administrasi, mbak?” wajahku membaca raut wajahnya. Lalu tersenyum kecil.

ngapain?”

“Mau ambilkan transkrip nilai kak Nirman.”

 “Adakah waktu sejenak untuk bicara?” ia menatapku. “Sekarang!” lanjutnya.

Aku terdiam.

            “Levi mau ngomong denganmu?” aku semakin terdiam. Menunduk lalu melihat Levi sejenak. Di pelipisnya ada bening air mata yang entah tak kuketahui kenapa. Bening keraguan yang menggeliat di hati untuk disimpati. Aku binggung. Entah apa yang hendak kuperbuat jika sudah melihat bulir mata seorang wanita. Apalagi wanita yang selama ini begitu akrab denganku. Ketika aku masih duduk di bangku sekolah pun tak jarang teman-temanku menjahiliku karena sifatku yang terlalu takut pada wanita.

Ngomonglah Lev?” mintanya lebih dalam pada Levi.

Aku hanya diam. Kerongkonganku tersumbat oleh sekat hati yang aku tak tau isinya. Hanyalah menatap penuh khidmat mendengar kata-kata yang beterbangan di rongga telingaku. Seperti orang yang terserang penyakit stroke, tubuhku tak kuasa digerakkan.

            Seperti dirajam kesalahan besar yang diperbuat. Aku menangkap rasa malu atas pembicaraan yang menyingkap waktuku. Ya, bulir airmata itu. Bulir airmata yang sebenarnya hanya berapa tetes. Tapi rasa salahku lebih besar dari bulir airmata itu.

            Levi berlalu tanpa bias katapun. Muti mengikuti di belakangnya. Sedang aku tetap terpaku. Membisu.

Kamar Rantau
            Malam membisikkan kata-kata lewat suara angin yang berhembus dari luar jendela. Aku menangkap kata itu. Persis kata-kata percakapan tadi siang yang membuatku mati langkah, tak berdaya. Kembali rasa salah menggeliat di hati. Mencambuki.

            Rahasia tentang hati:antara kita berdua
            Ibarat kata dan frasa dalam satu makna
            Tak lelah bersenggama meyakinkan logika

            Rahasia tentang hati:dalam satu rasa
Meski jeda jumpa mendarah doadoa

           Suatu perlengkapan cerita belum tentu senada dengan hati. Siapa tau rahasia tentang hati? Untuk kali ini, suara hatiku menyerudup lebih jauh. Bisiknya meyakinkan. Dan aku pun paham akan sebuah ikatan meski selama ini dianggap sekedar candaan. Ya, siapa tau isi hati? Ia ingin mengungkapkan rasa jalinan kasih padaku.
 
            Getir hati setelah itu. getir haru. Getir kesal karena melesapkan lenyap sempat yang sudah ditetap berbulan-bulan. Terlagi bukan aku yang menuturkan pertama, tapi dia. O, memang waktu tak berpihak padaku. Ternyata selama ini dia memendam rasa yang sama. Mataku melayu.
           
Seminggu Berlalu
           
Gemuruh menyatu pada ruang rindu
Gemuruh meluluhlantahkan bibir cintaku

            Memang setelah pertemuan di jalan setapak samping dekanat tiada lagi perbincangan antara aku, Levi dan Muti. Sempat aku menanyai Levi mengenai siang itu melalui SMS, tetapi kudapati hanya balasan singkat bahwa tak ada masalah apa-apa yang sedang ia hadapi. Setelah itu, aku membiarkan ia untuk merehatkan pikiran supaya kembali bercahaya. Tak berkunang. 

            Seperti terumbu karang yang dihantam tsunami, aku remuk. Berserakkan mengikuti arah deburan ombak. Ketika pandangan mata tertuju pada seorang yang seminggu lalu kulihat meneteskan bulir airmata. Levi, ternyata raut wajahnya telah berubah drastis. Sungguh manis. Sayangnya, karena kemanisan itulah aku remak redam. Hilang harapan dan cahaya benderang. Di sana Levi menguntai kata dan merebahkan cinta pada sesosok orang yang baru sebulan kukenal. O, malangnya diri ini.

            Mata memerah
            Cinta:tak bersisa tak bernyawa(*)

0 komentar:

Posting Komentar