Hidup ini adalah kesempatan untuk selalu melakukan perjuangan menghadapi
rintangan yang ada demi meraih kebahagiaan hati. Ya, kurang lebih begitulah
kata-kata yang sering kugaungkan dalam mengitari detik waktu yang diizinkan
untuk mendapati diri. Bahkan, jika menilik dari kilas balik perjalanan
kehidupan yang sudah dilalui, tentulah sangatlah banyak perjuangan yang sudah
dilakukan. Entah itu melalui diri sendiri ataupun perjuangan orang yang ada di
sekitar kita untuk memenuhi kebutuhan kita.
Salah satunya seperti yang tergambar ketika mencapai Puncak Tertinggi Sumatera Selatan (Gunung Dempo) ; di sana jelas sekali perjuangan itu dirasakan. Bersama dengan 18 rekan lainnya, kami menuju 'Rimau', sehabis mempersiapkan, makan siang, dan shalat zuhur yang kemudian dilanjutkan jamak untuk ashar. Lalu, pukul 13. 49 wib, kami mulai berjalan menuju trek mencapai puncak. Awalnya, trek yang dilalui masih bisa dilalui kebanyakan orang, terus mendaki hingga akhirnya kami berhenti di 'Selter 1 : Terminal pertama' dalam pendakian sekitar pukul 15.00 wib.
Perjalanan dilanjutkan dengan penuh perjuangan dan kesabaran, dan aku berada di barisan paling belakang; kata sahabatku untuk mengawasi rekan-rekan yang lain. Mengingat sebelumnya aku pernah mendaki bukit Sulap yang memiliki ketinggian lima kali lebih rendah dibandingkan Dempo. Tapi itu bukan jadi masalah sehingga ia mengamanahkanku untuk melakukan tugas itu. Aku pun bersyukur, dengan kesempatan ini. Tentunya pembelajaran dan kewaspadaanku lebih besar dibanding yang lain; apabila aku terlalu cepat berjalan maka aku akan berhenti sebab akan menabrak rekan lainnya. Sebaliknya, jika aku terlambat dalam lelahnya perjalanan akan ketinggalan jauh dalam pendakian.
Sebelum sampai shelter 2, pada pukul 16.30 wib tepatnya di 'Lahan Embun' hujan turun. Menyadari hal ini, kami berupaya memakai persediaan yang ada. Kenyataannya, kami tak mampu menutupi tubuh dengan perlengkapan yang menyeluruh tubuh, sehingga tubuh ini semakin lama semakin basah. Pun semakin lama, semakin resah, yang akhirnya menggigil adalah sebuah rasa yang tak dapat kami hindarkan.
Mencapai Shelter 2, jalan mulai sulit dilalui. Seperti dinding rumah yang hanya sebagian saja ada celah berlubang untuk pegangan dan menjulang tinggi. Aku mulai mengalami kesulitan. Hingga perulangan keberapa, aku tak mampu melewati akar besar yang mengahalangi. Hingga, ada sahabat yang bernama Rahmat menyambutku.
Langit semakin kelam. Belum sempurna kelam itu, ada beberapa sahabat yang mengalami ketengangan pada uratnya 'Keram'. aku yang sebagai juta tim medis pada pendakian itu, bersegera untuk memberikan pelayanan dan semaksimal mungkin memberikan motivasi untuk terus melaju hingga tercapailah puncak yang dituju.
Waktu terus berputar dengan cepat sekali rasanya. Kami yang saat itu, masih lumayan jauh mencapai puncak terus melaju dengan persediaan seadanya. Saat itu, hanya ada 2 senter yang kami bawa. Sungguh miris sekali jika melihat rombongan yang panjang dan harus terus melaju terus.Jika tidak, maka tubuh akan terpental dan terlepas dengan dinding yang menjulang tinggi yang hanya ada tali panjang untuk dipegang. Untunglah, ada beberapa handphone bercenter yang dapat digunakan. Setidaknya dapat membantu kami dalam menerangi perjalanan.
Sesampai di puncak, tepatnya di pelataran Dempo untuk tempat menginap kira-kira pukul 21.00 wib. Melihat hal itu, betapa kuatnya tubuh menahan rasa dingin yang menghinggapi. Tak kurang dari 4 jam tubuh dalam basah kuyup. Belum lagi suhu yang semakin rendah, diperkirakan mencapai 5-8 celcius. Perjuangan belum sampai disitu, karena kami harus menyiapkan tenda sesegera mungkin. Saat itu, beberapa sahabat sudah 'kedinginan poll'. Kami bergegas membuat tenda, sehingga berdirilah 2 tenda sekitar pukul 22.30 wib. Mengingat sudah kelelahan bercampur dingin yang teramat, kebanyakan teman sudah beristirahat ditenda dengan seadanya dan tumpuk menumpuk. Tinggallah aku bersama Herman yang saat itu sebenarnya sudah kedinginan yang teramat menusuk, akan tetapi kalau kami menerima keadaan maka kami akan lebih tersiksa. Sehingga, dengan kekuatan yang masih tersisa kami berdua membangun tenda darurat yang bisa ditempati untuk istirahat. Minimal untuk besok pagi, batinku saat itu.
Melalui perjuangan berat, akhirnya kami bisa mencapai puncak tertinggi Sumatera Selatan yaitu 3183 mdpl keesokan paginya. Begitu indah, ada samudera di atas awan. dan keindahan alam lainnya, pun cita-citaku tersampaikan akan sujud di puncak dempo dan mengibarkan bendera merah putih, yang disertai dengan menyanyikan lagu kebangsaain Indonesia Raya.
Seperti itulah, kehidupan tentulah butuh perjuangan yang keras. Apapun alasannya, perjuangan adalah kunci yang mutlak, selain doa untuk menyerahkan hasilkan kepada-Nya. Pun sekarang, berada pada masa-masa yang berat, di tengah keberlimpahan amanah yang meski diselesaikan serta kewajiban demi kewajiban harus ditunaikan. Terjelas, Allah masih memberikan kesempatan untuk berusaha lebih keras. Perihal hasilnya, tentulah Allah sudah memiliki jawaban tersendiri mengenai itu.
Selayaknya mendaki yang penuh perjuangan, langkah sekarang pun tak kalah berat. Jika mendaki gunung itu mempertaruhkan nyawa, di sini pun aku tentu memiliki pertaruhan lainnya; terjelas waktu. Tiada alasan yang mesti dipegang untuk menghindari semua ini, kecuali melakukan dengan seoptimal mungkin. Setidaknya sudah memberikan usaha terlebih dahulu jika ingin menikmati indahnya kehidupan.
Membaca dari sebuah blog seorang sahabat:
"Ibarat mendaki gunung, [saat ini] adalah
tanjakan curam 90 derajat, hanya ada dua pilihan, bertahan dan sampai di Puncak
dengan selamat, atau sampai puncak dengan luka-luka atau bahkan terjatuh karena
pemandangan alam yang indah nan melenakan. Jika pilihan itu tepat untuk lanjut
di Puncak, masih ada pilihan yang harus di putuskan, bersyukur atau
menyombongkan diri. Bagi yang terjatuh, bagimu dua pilihan, membiarkan
sekelilingmu tertawa lepas karena kau menyerah atau kau akan bangkit lagi untuk
kembali mengarungi rintangan hingga menggapai Puncak, dan kata seorang sahabat,
sejatinya tidak ada Puncak yang abadi, selain Puncak kehidupan dengan
berpedoman kepada aturan Allah. Lalu kepada siapa lagi kita akan mengharap
pertolongan? Ya, hanya kepada Allah. Yang rasanya tidak mungkin, bisa jadi
mungkin. Kalau kata ustadz, Istiqomah sampai khusnul khotimah.Aamiin"
(Rescue Iffah)
(Rescue Iffah)
Semoga singkat cerita ini bermanfaat dan menebar
kebaikan.
Kamar Kos, Indralaya
1 April 2014
* tanda [saat ini] menunjukkan ada sedikit perubahan.
0 komentar:
Posting Komentar