Laman

Senin, 11 Januari 2016

Cerpen "Ketika Datang Panggilan"




 (Publikasi di Radar Banyuwangi)
            
 Seperti biasa, langit menyajikan kenyaman bagi penginjak bumi. Angin mendesir mesra dari arah hulu. Ketika itu, sahut-sahutan kicau burung menyisir lembah sungai. Sehingga tak hanya gemericik sungai yang mengisi sekitar sungai, melainkan suara alam yang menampakkan kekhasan. Apalagi dari aliran sungai sebagian terdapat batu-batu yang melahirkan nada riuh dan berombak. Aura menakutkan menjamah diri, kecuali hanya cericau burung yang hijrah dan menukik merdu di telinga.


Selain kisaran tanah cukup melelahkan jika hendak menujuinya, aral merintang juga tersedia di sana dan memakan waktu yang menguras energi. Hanya dengan setapak jalan merah yang jika tertimbun hujan akan menjadi kubangan tanah merah. Menakutkan. Ah, adakah jalan yang lebih baik untuk mendatanginya? Selain dunia mimpi yang tersulit datang mengenai lembah yang didambakan.

“Adakah waktu untuk kembali mengarungi lembah sungai seperti dulu?”

“Waktu sendiri yang akan menjawab,” Fauzi membalikkan lembaran koran.

Semenjak lulus tes PNS enam tahun lalu atas usulan Fauzi, seorang sahabat saat menimba ilmu di Universitas bergengsi di negeri ini, Hendri harus merelakan kebiasaan arungi curamnya sungai yang sempat mengharumkan namanya di tingkat provinsi. Di sisi lain, bayangan masa depan selalu menghantuinya. Pun desakan demi desakan keluarga menjadi pertimbangan tersendiri yang akhirnya tercapai ketetapan hati untuk mengikuti tes itu: seorang guru.

Berada di tanah rantau dengan hati masih berada di dua palung yang berbeda adalah hal yang sangat menyakitkan. Seperti sayatan pisau tak hentinya melukai setelah mengenai tubuh. Meninggalkan jati diri dan menanggalkan rutinitas yang sebelumnya tak pernah dipikirkan merupakan hal yang berat. Sungguh pemberdirian yang memasung diri. Sekalipun tegukan manis akan didapatkan, tetapi kecambuk diri akan menganak kepahitan tiada hingga.

-oOo-

Diskusi panjang tengah digelar. Berkibar-kibar bendera hangat dalam ruangan. Melahap-lahap. Rambatan ego atas kehendak kepemilikan tuan rumah di pergelaran Nasional adalah keharusan. Dengan pondasi bahwa titik-titik penting akan didapat jika penyelenggaraan di daerah sendiri. Baik itu penambahan infrastruktur, pengunjung, juga dana mengalir deras.

“Papua.”

“Makasar lebih siap!”

“Bali banyak wisatawan.”

Butir-butir kata meluncur tanpa menyadari adanya pembatas. Apapun sebutannya dianggap hal yang lumrah, sedang ruang penadah merasakan pedas berkepanjangan. Pedas yang jika didiamkan akan melahap sendi-sendi dan sisakan tulang-tulang kering, atau bahkan menjadi bara api yang ganas melahap ketika sambaran mengenai urat sendi.

“Muara Enim, Sumsel dirasa paling tepat selenggarakan Arung Jeram kali ini. Selain memiliki lintasan tingkat kecuraman tinggi, juga ada daya tarik sendiri,” kata seorang perwakilan daerah.

Suasana hening sejenak.

“Ya, saya sepakat.”

“Kami juga.”

“Tiada kata lain, selain kata sepakat.”

Langit-langit ruangan tersenyum,  tiada lagi keegoisan meruang. Tak lain, senyum-senyum kecil mulai mengantikan posisinya. Apalagi dari perwakilan Sumsel, ia tak dapat menahan serbuan rasa haru. Bukan penyerbuan yang melukai, melainkan serbuan yang tebarkan aroma mewangi.

-oOo-

Kabar digelarnya Kejurnas Arung Jeram 2012 di Muara Enim ternyata cepat tersebar di seantero Sumsel. Pun warga Muara Rengas, sebuah desa kecil di ujung timur Musi Rawas. Kecuali Hendri yang terus khusyuk dengan profesinya sebagai pendidik. Tapi kepakan kabar kali ini dirasa mengandung perbedaan yang mencolok. Aneh! Hal ini tak lepas dengan biasanya digelar event nasional di bumi Sriwijaya, tetapi selalu saja biasa reaksi masyarakat Sumsel.

Tok… tok… tooook… Terdengar gesekan suara berasal dari daun pintu depan. Suara itu mengagetkan Salsa, putri semata wayang Hendri. Malam itu Hendri tengah makan bersama istri dan anaknya malam itu. Malam bersenandung cinta dan keakraban keluarga sakinah.

“Ayah, ada orang menggedor pintu. Salsa buka ya?” ucap Salsa lugu. Empat tahun lalu ibunya menangis haru setelah setahun menikah tiada kabar akan momongan di sisinya dan Hendri. Barulah di tahun kedua kabar gembira itu datang di tengah-tengah keluarga.

“Biar ayah saja, Nak. Mungkin si Fauzi yang menggedor itu,” Hendri memandangi Salsa.

“Tak seperti biasanya mas Fauzi mengetuk pintu sekeras itu, Mas,” Okta, istri Hendri menanggapi.

“Ya, coba mas buka dulu ya. Salsa terusi saja makannya.”

Baru beberapa detik setelah pintu dibuka, Fauzi langsung menepuk pundak Hendri. Tak pelak, Hendri pun terkaget.

“Hei, ada apa kau ini?”

“Ada kabar gembira untukmu. Untuk kita!” Fauzi membaurkan aura bahagia.

“Lah… lah… lah… Ini ada apa toh?” Hendri dengan logat jawanya.

“Masih ingin melintasi air arung jeram?”

“Tentu! Hendak di mana melakukan itu? Sejauh ini belum ada sungai yang curam, kecuali di Aceh Tenggara, Lampung, Bengkulu, atau di Jawa. Di Sumsel mah tak ada tempatnya!”

“Wah…wah, belum tahu ya kalau di Sumsel juga banyak sungai bercuram. Di Kabupaten kita juga ada, tepatnya di Ulu Rawas,” Fauzi tesenyum mengucilkan.

Memang, selama ini katupan hati membuat Hendri terkungkung oleh hasratnya untuk mengetahui titik curam sungai di sekitar rumah barunya. Okta menjadi salah satu faktornya, walau ia sendiri belum tau respon Okta jika mengetahui kegemaran yang pernah sukses melejitkan namanya di tingkat provinsi.

“Benarkah?” Hendri penuh semangat. “Tapi tunggu, aku habiskan nasi dulu. Jika belum makan, mari gabung!”

“Kebetulan nih…” Fauzi tersenyum. Hendri pun timpali senyum di antara ruang kosong di hadapan mereka.

Okta tengah menunggu Hendri. Okta tak meneruskan makannya karena menurutnya menghabiskan nasi bersama suami itu lebih membahagiakan.

Fauzi duduk bersama mereka.

“Makan yang banyak ya, Salsa,” ujar Fauzi.

“Pasti Paman.”

Salsa memang memiliki keterampilan di atas rata-rata dibandingkan anak seusianya. Susunan Bahasa Indonesia runut keluar dari bibirnya ketika berbicara. Keterampilan mewarnai dan menggambar sudah harumkan nama Hendri dan Okta. Beberapa trofi juara pertama terpampang di lemari karenanya.

“Tinggal mencari dua orang lagi,” Fauzi mengawali pembicaraan.

Okta sedikit bingung arah pembicaraan Fauzi. Ia melihat Hendri, lalu melihat Salsa yang masih asyik melahap nasinya.

“Maksudnya apa?” Hendri menatap dalam-dalam wajah Fauzi, kemudian mengeryitkan alis.

“Begini Hendri, baru saja diinformasikan bahwa akan diadakan Kejurnas Arung Jeram di Muara Enim. Nah, saatnya untuk beraksi. Bukankah hatimu masih mengarah ke sana?” Fauzi menatap Hendri.

“Apakah bisa seorang Guru mengarungi terjalnya sungai Enim yang dikenal dengan rintangan paling menakutkan di Sumsel?” Okta bergeming.

“Eh… jangan salah, Mas-mu ini mantan atlet Arung Jeram lho! Sudah lama ia tak menemukan sungai bagus untuk diarungi, padahal di sini banyak sekali. Sepertinya dia sibuk mencerdaskan generasi bangsa, maka aku biarkan dulu ia memaksimalkan dirinya disana,” timpal Fauzi.

“Benarkah?” Okta terkejut.

Hendri mengangguk. Ia tak kuasa menatap wajah istrinya. Selama enam tahun menjalani bahtera keluarga belum sekalipun ia menceritakan pengalaman bujangnya.

“Kenapa tak dilanjuti saja. Ikuti Kejurnas ini. Siapa tau ada nasib,” Okta penuh semangat, sedang Salsa hanya melongo.

Begitu terkejut Hendri mendengar kabar tersebut. Ia tak pernah menduga sebelumnya kalau ucapan itu akan keluar dari bibir Okta.

­-oOo-


“Kiki, Imam, tolong siapkan peralatan Arung Jeram. Nanti biar kami yang bayar kontibusi Kejurnas ini,” ucap Fauzi dalam konfrensi di ponsel.

“Beres. Akan siapi galo itu,” sahut Kiki.

“Ada yang perlu disiapkan lagi?”

Dak ado. Dah siap galo, tinggal beraksi be kito,” Imam berlogat Palembang.

“Apa kita tak perlu lahitan? Aku sudah enam tahun tak mengarungi sungai yang terjal,” Hendri khawatir.

“In sya Allah, biso. Lagian kito jugo jauh nian jaraknyo.”

-oOo-

Gemericik air dapat didengar setelah sebelumnya merelakan diri terhisap lelah dari jalan terjal. Gemericik air yang kembali mengeliatkan hasrat untuk arungi, memainkan, bahkan menggenggamnya. Gemericik air tambatkan rindu begitu dalam. Mungkin lebih dalam dari dalamnya sungai di sepanjang aliran. Ah, begitu rindunya. Air mata Hendri menetes tanpa ada rasa sakit melukai tubuhnya. Air mata melepas bingkai rindu di lika-liku jalan hidup. Air mata haru.

“Inilah salah satu sungai yang menjadi bukti terjungkalnya sang Timnas Arung Jeram Indonesia, padahal mereka selalu meraih prestasi gemilang di kejuaraan Arung Jeram Internasional. Artinya, sungai ini tak mudah ditaklukkan,” cetus Imam seraya memakai peralatan.

“Luar biasa. Ternyata ada ya sungai terjalnya luar biasa di Sumsel?” ucap Hendri.

“Inilah perlunya penjajakan di dunia yang kita gemari. Oke, mari kita bersiap, sebentar lagi akan dimulai perlombaannya,” timpal Kiki.

Detik berlalu dengan jantung berdetak kencang. Sesekali detakan itu mengatup pori sehingga nampak seperti orang bodoh. Menyadari kekakuan sudah menggerayapi, sebab enam tahun tak menjamah peralatan Arung Jeram. Kali ini ia harus Down River Race yang memang dibutuhkan keterampilan pandai mengendalikan perahu dari kecuraman sungai dalam jarak yang jauh.

Tanpa basa-basi setelah tanda dimulainya perlombaan, Hendri mengikuti gerak dan arahan dari Kiki, Imam, dan Fauzi. Dalam enam tahun terakhir Hendri tak menyentuh air seperti ini, sedangkan Fauzi ternyata hampir setiap dua bulan sekali menguji diri dengan ikut latihan Kiki dan Imam di sungai-sungai yang ada di Sumsel. Seperti Sungai Manna di Lahat, Sungai Rawas di Rawas Ulu, pun Sungai Enim. Sedang Kiki dan Imam tercatat sebagai mantan atlet Sumsel, namun berkat munculnya atlet-atlet muda berbakat mereka akhirnya tersisih.

Arus semakin deras, tingkat kecuraman semakin tinggi. Kekhwatiran terlihat jelas di wajah Hendri. Entah pergi kemana pikirannya, hingga ia tak mampu mengendalikan perahu yang ditumpangi. Tumbang! Beruntung, mereka berempat masih bisa menangkap perahu tersebut. Dengan segera mereka mencoba naik kembali ke atas perahu. Berhasil. Sudah beberapa detik mereka terlewatkan akibat dari kekhilafan yang dilakukan Hendri. Mereka kembali memulai, kali ini Kiki yang memberikan komando.

“Mari kosentrasi. Apapun yang terjadi, air adalah saudara kita.”

Berkat motivasi itulah Hendri bergeliat beda. Tak sekaku sebelumnya. Nama atlet yang pernah disandang melengkapkan semangatnya. Lengkap sudah tim mereka oleh mantan atlet dari dua provinsi, Sumsel dan Jabar.

Baru kali ini Hendri merasakan aura beda ketika mengikuti Arung Jeram. Selain sudah lama tak mengendalikan perahu di aliran deras, ia juga telah habiskan beberapa detik akibat terjungkal di awal lomba. Begitu berat. Angin berdesir di tubuh mereka. Rasa berat itu meringan. Lalu hilang. Benar, semua beban hilang semuanya. Seperti dunia dongeng saja angin dapat menyihir besi menjadi kapas. Ah, beruntungnya mereka.

Mereka tersenyum.

“Ayo...ayo...ayo... garis finish sudah di depan mata.”

“Ayo... “ yang lain menimpali.

Kelelahan beraromakan wewangi. Aroma wewangi yang tak dapat disebutkan dengan huruf, angka, pun kata-kata. Tanpa disadari mereka telah memangkas waktu yang telah dibuang sia-sia di awal perlombaan. Ya, merekalah yang tercepat pada kelas ini.

Hendri bersujud, lalu mengusap wajah. Menatap ke langit dengan tanpa suara. O, inikah yang akan direngkuh bila kedatangan panggilan dipeduli? []

-oOo-

*) Wahyu Wibowo, lahir di Muara Kelingi, 27 Juli 1993. Alumnus Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya ini pada 2013 berhasil meraih Anugerah Cerpen Silampari dan Peraih FLP Sumsel Award. Pemilik puluhan antologi ini tahun 2015 telah menerbitkan tiga buku antologi yang digagasnya, yaitu Mengukir Cinta di Bumi Aksara (WritingRevolution), Cinta : Mengukir Anugerah Terindah-Nya (Indiana Books), dan Himpunan Aksara Matematika (Indiana Books).
*) Cerpen ini dipublikasi di Radar Banyuwangi, 10 Januari 2015.
*) Ini merupakan karya ketiga yang dipublikasi di Media pada bulan Januari 2016



Mari silatirahmi di:
Facebook        : Wahyu Wibowo
Twitter            : @WahyuKelingi
Blog                 : Sinauramerame.blogspot.com




0 komentar:

Posting Komentar