(Publikasi
di Radar Banyuwangi)
Seperti
biasa, langit menyajikan kenyaman bagi penginjak bumi. Angin mendesir mesra
dari arah hulu. Ketika itu, sahut-sahutan kicau burung menyisir lembah sungai.
Sehingga tak hanya gemericik sungai yang mengisi sekitar sungai, melainkan
suara alam yang menampakkan kekhasan. Apalagi dari aliran sungai sebagian
terdapat batu-batu yang melahirkan nada riuh dan berombak. Aura menakutkan
menjamah diri, kecuali hanya cericau burung yang hijrah dan menukik merdu di
telinga.
Selain
kisaran tanah cukup melelahkan jika hendak menujuinya, aral merintang juga
tersedia di sana dan memakan waktu yang menguras energi. Hanya dengan setapak
jalan merah yang jika tertimbun hujan akan menjadi kubangan tanah merah. Menakutkan.
Ah, adakah jalan yang lebih baik untuk mendatanginya? Selain dunia mimpi yang
tersulit datang mengenai lembah yang didambakan.
“Adakah
waktu untuk kembali mengarungi lembah sungai seperti dulu?”
“Waktu
sendiri yang akan menjawab,” Fauzi membalikkan lembaran koran.
Semenjak
lulus tes PNS enam tahun lalu atas usulan Fauzi, seorang sahabat saat menimba
ilmu di Universitas bergengsi di negeri ini, Hendri harus merelakan kebiasaan
arungi curamnya sungai yang sempat mengharumkan namanya di tingkat provinsi. Di
sisi lain, bayangan masa depan selalu menghantuinya. Pun desakan demi desakan
keluarga menjadi pertimbangan tersendiri yang akhirnya tercapai ketetapan hati
untuk mengikuti tes itu: seorang guru.
Berada di
tanah rantau dengan hati masih berada di dua palung yang berbeda adalah hal
yang sangat menyakitkan. Seperti sayatan pisau tak hentinya melukai setelah
mengenai tubuh. Meninggalkan jati diri dan menanggalkan rutinitas yang
sebelumnya tak pernah dipikirkan merupakan hal yang berat. Sungguh pemberdirian
yang memasung diri. Sekalipun tegukan manis akan didapatkan, tetapi kecambuk
diri akan menganak kepahitan tiada hingga.
-oOo-
Diskusi
panjang tengah digelar. Berkibar-kibar bendera hangat dalam ruangan.
Melahap-lahap. Rambatan ego atas kehendak kepemilikan tuan rumah di pergelaran
Nasional adalah keharusan. Dengan pondasi bahwa titik-titik penting akan
didapat jika penyelenggaraan di daerah sendiri. Baik itu penambahan
infrastruktur, pengunjung, juga dana mengalir deras.
“Papua.”
“Makasar
lebih siap!”
“Bali banyak
wisatawan.”
Butir-butir
kata meluncur tanpa menyadari adanya pembatas. Apapun sebutannya dianggap hal
yang lumrah, sedang ruang penadah merasakan pedas berkepanjangan. Pedas yang
jika didiamkan akan melahap sendi-sendi dan sisakan tulang-tulang kering, atau
bahkan menjadi bara api yang ganas melahap ketika sambaran mengenai urat sendi.
“Muara
Enim, Sumsel dirasa paling tepat selenggarakan Arung Jeram kali ini. Selain
memiliki lintasan tingkat kecuraman tinggi, juga ada daya tarik sendiri,” kata
seorang perwakilan daerah.
Suasana
hening sejenak.
“Ya, saya
sepakat.”
“Kami
juga.”
“Tiada
kata lain, selain kata sepakat.”
Langit-langit
ruangan tersenyum, tiada lagi keegoisan
meruang. Tak lain, senyum-senyum kecil mulai mengantikan posisinya. Apalagi
dari perwakilan Sumsel, ia tak dapat menahan serbuan rasa haru. Bukan
penyerbuan yang melukai, melainkan serbuan yang tebarkan aroma mewangi.
-oOo-
Kabar
digelarnya Kejurnas Arung Jeram 2012 di Muara Enim ternyata cepat tersebar di
seantero Sumsel. Pun warga Muara Rengas, sebuah desa kecil di ujung timur Musi
Rawas. Kecuali Hendri yang terus khusyuk dengan profesinya sebagai pendidik.
Tapi kepakan kabar kali ini dirasa mengandung perbedaan yang mencolok. Aneh!
Hal ini tak lepas dengan biasanya digelar event
nasional di bumi Sriwijaya, tetapi selalu saja biasa reaksi masyarakat
Sumsel.
Tok… tok…
tooook… Terdengar gesekan suara berasal dari daun pintu depan. Suara itu
mengagetkan Salsa, putri semata wayang Hendri. Malam itu Hendri tengah makan
bersama istri dan anaknya malam itu. Malam bersenandung cinta dan keakraban
keluarga sakinah.
“Ayah,
ada orang menggedor pintu. Salsa buka ya?” ucap Salsa lugu. Empat tahun lalu
ibunya menangis haru setelah setahun menikah tiada kabar akan momongan di sisinya dan Hendri. Barulah
di tahun kedua kabar gembira itu datang di tengah-tengah keluarga.
“Biar
ayah saja, Nak. Mungkin si Fauzi yang menggedor itu,” Hendri memandangi Salsa.
“Tak
seperti biasanya mas Fauzi mengetuk pintu sekeras itu, Mas,” Okta, istri Hendri
menanggapi.
“Ya, coba
mas buka dulu ya. Salsa terusi saja makannya.”
Baru
beberapa detik setelah pintu dibuka, Fauzi langsung menepuk pundak Hendri. Tak
pelak, Hendri pun terkaget.
“Hei, ada
apa kau ini?”
“Ada
kabar gembira untukmu. Untuk kita!” Fauzi membaurkan aura bahagia.
“Lah… lah…
lah… Ini ada apa toh?” Hendri dengan logat jawanya.
“Masih
ingin melintasi air arung jeram?”
“Tentu!
Hendak di mana melakukan itu? Sejauh ini belum ada sungai yang curam, kecuali
di Aceh Tenggara, Lampung, Bengkulu, atau di Jawa. Di Sumsel mah tak ada tempatnya!”
“Wah…wah,
belum tahu ya kalau di Sumsel juga banyak sungai bercuram. Di Kabupaten kita
juga ada, tepatnya di Ulu Rawas,” Fauzi tesenyum mengucilkan.
Memang,
selama ini katupan hati membuat Hendri terkungkung oleh hasratnya untuk
mengetahui titik curam sungai di sekitar rumah barunya. Okta menjadi salah satu
faktornya, walau ia sendiri belum tau respon Okta jika mengetahui kegemaran
yang pernah sukses melejitkan namanya di tingkat provinsi.
“Benarkah?”
Hendri penuh semangat. “Tapi tunggu, aku habiskan nasi dulu. Jika belum makan,
mari gabung!”
“Kebetulan
nih…” Fauzi tersenyum. Hendri pun timpali senyum di antara ruang kosong di
hadapan mereka.
Okta
tengah menunggu Hendri. Okta tak meneruskan makannya karena menurutnya
menghabiskan nasi bersama suami itu lebih membahagiakan.
Fauzi
duduk bersama mereka.
“Makan
yang banyak ya, Salsa,” ujar Fauzi.
“Pasti Paman.”
Salsa
memang memiliki keterampilan di atas rata-rata dibandingkan anak seusianya. Susunan
Bahasa Indonesia runut keluar dari bibirnya ketika berbicara. Keterampilan
mewarnai dan menggambar sudah harumkan nama Hendri dan Okta. Beberapa trofi
juara pertama terpampang di lemari karenanya.
“Tinggal
mencari dua orang lagi,” Fauzi mengawali pembicaraan.
Okta
sedikit bingung arah pembicaraan Fauzi. Ia melihat Hendri, lalu melihat Salsa
yang masih asyik melahap nasinya.
“Maksudnya
apa?” Hendri menatap dalam-dalam wajah Fauzi, kemudian mengeryitkan alis.
“Begini Hendri,
baru saja diinformasikan bahwa akan diadakan Kejurnas Arung Jeram di Muara
Enim. Nah, saatnya untuk beraksi. Bukankah hatimu masih mengarah ke sana?” Fauzi
menatap Hendri.
“Apakah
bisa seorang Guru mengarungi terjalnya sungai Enim yang dikenal dengan rintangan
paling menakutkan di Sumsel?” Okta bergeming.
“Eh…
jangan salah, Mas-mu ini mantan atlet Arung Jeram lho! Sudah lama ia tak
menemukan sungai bagus untuk diarungi, padahal di sini banyak sekali.
Sepertinya dia sibuk mencerdaskan generasi bangsa, maka aku biarkan dulu ia
memaksimalkan dirinya disana,” timpal Fauzi.
“Benarkah?”
Okta terkejut.
Hendri
mengangguk. Ia tak kuasa menatap wajah istrinya. Selama enam tahun menjalani
bahtera keluarga belum sekalipun ia menceritakan pengalaman bujangnya.
“Kenapa tak
dilanjuti saja. Ikuti Kejurnas ini. Siapa tau ada nasib,” Okta penuh semangat,
sedang Salsa hanya melongo.
Begitu
terkejut Hendri mendengar kabar tersebut. Ia tak pernah menduga sebelumnya
kalau ucapan itu akan keluar dari bibir Okta.
-oOo-
“Kiki, Imam,
tolong siapkan peralatan Arung Jeram. Nanti biar kami yang bayar kontibusi
Kejurnas ini,” ucap Fauzi dalam konfrensi di ponsel.
“Beres.
Akan siapi galo itu,” sahut Kiki.
“Ada yang
perlu disiapkan lagi?”
“Dak ado. Dah siap galo, tinggal beraksi be kito,”
Imam berlogat Palembang.
“Apa kita
tak perlu lahitan? Aku sudah enam tahun tak mengarungi sungai yang terjal,” Hendri
khawatir.
“In sya Allah,
biso. Lagian kito jugo jauh nian jaraknyo.”
-oOo-
Gemericik
air dapat didengar setelah sebelumnya merelakan diri terhisap lelah dari jalan
terjal. Gemericik air yang kembali mengeliatkan hasrat untuk arungi, memainkan,
bahkan menggenggamnya. Gemericik air tambatkan rindu begitu dalam. Mungkin
lebih dalam dari dalamnya sungai di sepanjang aliran. Ah, begitu rindunya. Air
mata Hendri menetes tanpa ada rasa sakit melukai tubuhnya. Air mata melepas
bingkai rindu di lika-liku jalan hidup. Air mata haru.
“Inilah
salah satu sungai yang menjadi bukti terjungkalnya sang Timnas Arung Jeram
Indonesia, padahal mereka selalu meraih prestasi gemilang di kejuaraan Arung
Jeram Internasional. Artinya, sungai ini tak mudah ditaklukkan,” cetus Imam
seraya memakai peralatan.
“Luar
biasa. Ternyata ada ya sungai terjalnya luar biasa di Sumsel?” ucap Hendri.
“Inilah
perlunya penjajakan di dunia yang kita gemari. Oke, mari kita bersiap, sebentar
lagi akan dimulai perlombaannya,” timpal Kiki.
Detik
berlalu dengan jantung berdetak kencang. Sesekali detakan itu mengatup pori
sehingga nampak seperti orang bodoh. Menyadari kekakuan sudah menggerayapi,
sebab enam tahun tak menjamah peralatan Arung Jeram. Kali ini ia harus Down River Race yang
memang dibutuhkan keterampilan pandai mengendalikan perahu dari kecuraman
sungai dalam jarak yang jauh.
Tanpa basa-basi setelah tanda
dimulainya perlombaan, Hendri mengikuti gerak dan arahan dari Kiki, Imam, dan Fauzi.
Dalam enam tahun terakhir Hendri tak menyentuh air seperti ini, sedangkan Fauzi
ternyata hampir setiap dua bulan sekali menguji diri dengan ikut latihan Kiki
dan Imam di sungai-sungai yang ada di Sumsel. Seperti Sungai Manna di Lahat, Sungai
Rawas di Rawas Ulu, pun Sungai Enim. Sedang Kiki dan Imam tercatat sebagai
mantan atlet Sumsel, namun berkat munculnya atlet-atlet muda berbakat mereka akhirnya
tersisih.
Arus semakin deras, tingkat
kecuraman semakin tinggi. Kekhwatiran terlihat jelas di wajah Hendri. Entah
pergi kemana pikirannya, hingga ia tak mampu mengendalikan perahu yang
ditumpangi. Tumbang! Beruntung, mereka berempat masih bisa menangkap perahu
tersebut. Dengan segera mereka mencoba naik kembali ke atas perahu. Berhasil.
Sudah beberapa detik mereka terlewatkan akibat dari kekhilafan yang dilakukan Hendri.
Mereka kembali memulai, kali ini Kiki yang memberikan komando.
“Mari kosentrasi. Apapun yang terjadi,
air adalah saudara kita.”
Berkat motivasi itulah Hendri
bergeliat beda. Tak sekaku sebelumnya. Nama atlet yang pernah disandang
melengkapkan semangatnya. Lengkap sudah tim mereka oleh mantan atlet dari dua
provinsi, Sumsel dan Jabar.
Baru kali ini Hendri merasakan
aura beda ketika mengikuti Arung Jeram. Selain sudah lama tak mengendalikan
perahu di aliran deras, ia juga telah habiskan beberapa detik akibat terjungkal
di awal lomba. Begitu berat. Angin berdesir di tubuh mereka. Rasa berat itu
meringan. Lalu hilang. Benar, semua beban hilang semuanya. Seperti dunia
dongeng saja angin dapat menyihir besi menjadi kapas. Ah, beruntungnya mereka.
Mereka tersenyum.
“Ayo...ayo...ayo... garis finish sudah di depan mata.”
“Ayo... “ yang lain menimpali.
Kelelahan beraromakan wewangi.
Aroma wewangi yang tak dapat disebutkan dengan huruf, angka, pun kata-kata.
Tanpa disadari mereka telah memangkas waktu yang telah dibuang sia-sia di awal
perlombaan. Ya, merekalah yang tercepat pada kelas ini.
Hendri bersujud, lalu mengusap
wajah. Menatap ke langit dengan tanpa suara. O, inikah yang akan direngkuh bila kedatangan panggilan dipeduli?
[]
-oOo-
*) Wahyu Wibowo, lahir di Muara Kelingi, 27 Juli 1993.
Alumnus Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya ini pada 2013 berhasil
meraih Anugerah
Cerpen Silampari dan Peraih FLP Sumsel Award. Pemilik puluhan antologi ini
tahun 2015 telah menerbitkan tiga buku antologi yang digagasnya, yaitu Mengukir
Cinta di Bumi Aksara (WritingRevolution), Cinta : Mengukir Anugerah
Terindah-Nya (Indiana Books), dan Himpunan Aksara Matematika (Indiana Books).
*) Cerpen ini dipublikasi di Radar Banyuwangi, 10 Januari 2015.
*)
Ini merupakan karya ketiga yang dipublikasi di Media pada bulan Januari 2016
Mari
silatirahmi di:
Facebook
: Wahyu Wibowo
Twitter
: @WahyuKelingi
Blog
: Sinauramerame.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar