Laman

Minggu, 24 Januari 2016

Jantung Pertemuan Berbuah Duka




            Ayo lihat semua
            Kapten kita datang
            Seluruh penjuru kota
            Puji kehebatannya

Potongan lirik lagu “Captain Tsubasa” di selembar kertas yang Iryanto berikan padaku untuk dinyanyikan bersama. Ketika kami menghibur diri dengan lagu tersebut dengan segera kau serobot lembar kertas tersebut. Aku geram akan tingkah lakumu. Terlagi saat mulai kau nyanyikan lirik lagu tersebut dengan suara merdumu di depan kami.


Terkadang aku sangat ingin mengenalmu lebih jauh karena baru setahun kita bersama. Kecerdasan dan kegesitan tingkahmu menarik simpatiku untuk belajar banyak tentang keterampilanmu. Sang juara kelas. Namun, tiap kali rasa ingin itu membuncah selalu ada saja hal yang membuatku mengurungkan niatku. Saat itu kau memukul punggungku dari balakang dengan keras. Entah apa alasannya, yang jelas membuat aku marah. Hingga akhirnya terjadi pergulatan ala anak-anak. Sampai kau kembali bisa memukulku dan berlari menuju kantor. Hal ini menghentikan lajuku untuk membalas pukulanmu.

Waktu mengalir layaknya sungai. Menghembuskan sendawa angin pada tepi pantai yang didahului dengan persinggahan jejak. Dari sekian jejak yang kudapati darimu selalu saja yang menorahkan tinta emas yang mampu mengapungkanku meski tak dalam. Kesemua sisi yang memang menjadi idaman setiap siswa telah kau pegang. Juara, ketua Osis, dan dipercaya guru. Ah..semua merasuk pikiranku untuk mengiri denganmu. Sekalipun kita tak terlalu dekat atau merasa bahwa akulah yang sebenarmya layak menempati posisimu. Tapi tak membuat kita terlalu jauh. Dan aku masih menyimpan sekali akan perbincangan kita kala mengikuti lomba di SMPN 1 Muara Beliti.

Senja pertemuan telah menghampiri kita. Pintu yang harusnya aku tutup rapat hingga kita bisa menjadi sahabat dekat. Namun, tak bisa aku menghalangi kepergianmu untuk meraih cita-citamu. Sebuah usaha yang dilakukan dengan “Man Jadda Wa Jadda” meski jauh dari sanak saudara para sahabat. Bandung. Kata yang akan menggambarkan wajahmu dalam ingatku. Biarlah kau sukses dan kembali dengan kearifan hati.

Malaikat apa yang membawaku untuk selalu menjaga silaturahmi denganmu. Merindu kehadiranmu. Padahal selama dalam wadah yang sama, aku selalu mencoba menghindar. Ataukah aku hanya ingin mengenalmu karena kau akan menjadi hal terkenal? Mungkin benar ungkapan menyebutkan “Kebersamaan akan terasa jika jarak telah berbicara”.

Setahun mengisahkan kita dari jarak yang berbeda. Tiba saatnya aku kembali bisa bercakap langsung denganmu. Sekaligus mematenkan persahabatan kita dalam hati. Dan keserbaan yang harus istimewa. Pagi itu aku terenyuh mendengar ucapanmu kalau aku adalah teman pertama yang mengunjunginya. Ia merasa kagum dengan bangunan mewah yang telah banyak berdiri kokoh di pinggir-pinggir jalan dan menceritakan rutinitas yang telah ia lakukan selama di Bandung.

Aku dapati garis-garis merah di dada bekas kerokan*. Aku berpikir mungkin ia hanya masuk angin karena menempuh perjalanan yang cukup jauh. Sehingga tak bertanya banyak mengenai itu.

Tiga hari berselang yang tepatnya Ramadhan pertama menghentakkan hatiku. Mencabik, menyebarkan perih ke penjuru sudut. Saat mendengar sahabat yang ingin aku rekatkan lagi silaturahminya terbujur lesu disalah satu Rumah Sakit yang ada di Palembang terserang penyakit Tumor Getah Bening. Keberadaanku yang nan jauh membuatku hanya sedih dan selalu berdo’a akan kesembuhannya.

Badai apa lagi yang menghempaskan karangku? Angin apa yang melenyap rumahku? Atau guruh apa yang menyambut fajarku? Terpaku diriku di depan Musholah setelah melakukan shalat shubuh. Tercabik hatiku dan terperanjat untuk segera menatapmu. Aku tak kuasa. Bumi masih merekatkan lumpur hidupnya di kaki. Sampai tersentuh tangan yang mendorong keras untuk meneruskan perjalanan shubuh.

Langit membiru seluruh. Menerjunkan rintik setelah pemakaman. Basah para wajah semakin terbasahi rerintiknya. Termasuk aku hanyut dalam keselapan sahabat yang dinanti sejak lama. Dipohon-pohon, aku lihat burung-burung juga tersedu. Ternyata bukan kami saja.

Kalut hatiku terus menyamudra. Membasahi pori-pori kering rindu menjadi lautan kesedihan. Seketika sampai di kamar aku hempaskan tubuh hingga magrib meluruhkan aku dalam setiap detik dalam shalat.

            telah usai perjalananmu, kawan
            tidur sendiri dalam ruang sebatas ukuran
            tiada percakapan, selain tagihan pertanggungjawaban
            dan cacingcacing yang merayapi kegirangan
            kawan, kisah kita
            pertautan terindah
            sejagat raya
            akan rapi pada sedimen ada
            yang terpenting disana kau selalu bercahaya

                                                                                   *  *  *
*kerok : mengeluarkan angin dengan mengesek-gesek uang logam ke tubuh yang telah di lumuri minyak terlebih dulu.
  

           Muara Kelingi, 29 Agustus 2011
          Terinspirasi kisah dua tahun lalu
          Tersenyumlah kau di sana, teman...
          "Hardinialdo Okta Tian"

*Tulisan ini termaktub dalam buku "Hikmah Samudera Kesabaran"


0 komentar:

Posting Komentar