Ayo lihat semua
Kapten kita datang
Seluruh penjuru kota
Puji kehebatannya
Potongan
lirik lagu “Captain Tsubasa” di selembar kertas yang Iryanto berikan padaku
untuk dinyanyikan bersama. Ketika kami menghibur diri dengan lagu tersebut
dengan segera kau serobot lembar kertas tersebut. Aku geram akan tingkah
lakumu. Terlagi saat mulai kau nyanyikan lirik lagu tersebut dengan suara merdumu
di depan kami.
Terkadang
aku sangat ingin mengenalmu lebih jauh karena baru setahun kita bersama.
Kecerdasan dan kegesitan tingkahmu menarik simpatiku untuk belajar banyak
tentang keterampilanmu. Sang juara kelas. Namun, tiap kali rasa ingin itu
membuncah selalu ada saja hal yang membuatku mengurungkan niatku. Saat itu kau
memukul punggungku dari balakang dengan keras. Entah apa alasannya, yang jelas
membuat aku marah. Hingga akhirnya terjadi pergulatan ala anak-anak. Sampai kau
kembali bisa memukulku dan berlari menuju kantor. Hal ini menghentikan lajuku
untuk membalas pukulanmu.
Waktu
mengalir layaknya sungai. Menghembuskan sendawa angin pada tepi pantai yang
didahului dengan persinggahan jejak. Dari sekian jejak yang kudapati darimu
selalu saja yang menorahkan tinta emas yang mampu mengapungkanku meski tak
dalam. Kesemua sisi yang memang menjadi idaman setiap siswa telah kau pegang.
Juara, ketua Osis, dan dipercaya guru. Ah..semua merasuk pikiranku untuk
mengiri denganmu. Sekalipun kita tak terlalu dekat atau merasa bahwa akulah
yang sebenarmya layak menempati posisimu. Tapi tak membuat kita terlalu jauh.
Dan aku masih menyimpan sekali akan perbincangan kita kala mengikuti lomba di
SMPN 1 Muara Beliti.
Senja
pertemuan telah menghampiri kita. Pintu yang harusnya aku tutup rapat hingga
kita bisa menjadi sahabat dekat. Namun, tak bisa aku menghalangi kepergianmu
untuk meraih cita-citamu. Sebuah usaha yang dilakukan dengan “Man Jadda Wa
Jadda” meski jauh dari sanak saudara para sahabat. Bandung. Kata yang akan
menggambarkan wajahmu dalam ingatku. Biarlah kau sukses dan kembali dengan
kearifan hati.
Malaikat
apa yang membawaku untuk selalu menjaga silaturahmi denganmu. Merindu
kehadiranmu. Padahal selama dalam wadah yang sama, aku selalu mencoba
menghindar. Ataukah aku hanya ingin mengenalmu karena kau akan menjadi hal
terkenal? Mungkin benar ungkapan menyebutkan “Kebersamaan akan terasa jika
jarak telah berbicara”.
Setahun
mengisahkan kita dari jarak yang berbeda. Tiba saatnya aku kembali bisa
bercakap langsung denganmu. Sekaligus mematenkan persahabatan kita dalam hati.
Dan keserbaan yang harus istimewa. Pagi itu aku terenyuh mendengar ucapanmu
kalau aku adalah teman pertama yang mengunjunginya. Ia merasa kagum dengan
bangunan mewah yang telah banyak berdiri kokoh di pinggir-pinggir jalan dan
menceritakan rutinitas yang telah ia lakukan selama di Bandung.
Aku
dapati garis-garis merah di dada bekas kerokan*. Aku berpikir mungkin ia hanya
masuk angin karena menempuh perjalanan yang cukup jauh. Sehingga tak bertanya
banyak mengenai itu.
Tiga
hari berselang yang tepatnya Ramadhan pertama menghentakkan hatiku. Mencabik,
menyebarkan perih ke penjuru sudut. Saat mendengar sahabat yang ingin aku
rekatkan lagi silaturahminya terbujur lesu disalah satu Rumah Sakit yang ada di
Palembang terserang penyakit Tumor Getah Bening. Keberadaanku yang nan jauh
membuatku hanya sedih dan selalu berdo’a akan kesembuhannya.
Badai
apa lagi yang menghempaskan karangku? Angin apa yang melenyap rumahku? Atau
guruh apa yang menyambut fajarku? Terpaku diriku di depan Musholah setelah
melakukan shalat shubuh. Tercabik hatiku dan terperanjat untuk segera
menatapmu. Aku tak kuasa. Bumi masih merekatkan lumpur hidupnya di kaki. Sampai
tersentuh tangan yang mendorong keras untuk meneruskan perjalanan shubuh.
Langit
membiru seluruh. Menerjunkan rintik setelah pemakaman. Basah para wajah semakin
terbasahi rerintiknya. Termasuk aku hanyut dalam keselapan sahabat yang dinanti
sejak lama. Dipohon-pohon, aku lihat burung-burung juga tersedu. Ternyata
bukan kami saja.
Kalut
hatiku terus menyamudra. Membasahi pori-pori kering rindu menjadi lautan
kesedihan. Seketika sampai di kamar aku hempaskan tubuh hingga magrib
meluruhkan aku dalam setiap detik dalam shalat.
telah
usai perjalananmu, kawan
tidur sendiri dalam ruang sebatas ukuran
tiada percakapan, selain tagihan pertanggungjawaban
dan cacingcacing yang merayapi kegirangan
kawan, kisah kita
pertautan terindah
sejagat raya
akan rapi pada sedimen ada
yang terpenting disana kau selalu bercahaya
* * *
*kerok :
mengeluarkan angin dengan mengesek-gesek uang logam ke tubuh yang telah di
lumuri minyak terlebih dulu.
Muara Kelingi, 29
Agustus 2011
Terinspirasi kisah dua tahun lalu
Tersenyumlah kau
di sana, teman...
"Hardinialdo
Okta Tian"
*Tulisan
ini termaktub dalam buku "Hikmah Samudera Kesabaran"
0 komentar:
Posting Komentar