Oleh : Wahyu Wibowo
Adalah saat yang tepat untuk mendiferensialkan
rasa rindu yang berkelebat selama seminggu terakhir. Juga rasa yang takkan
diberitahukan kepada keluarga. Sebab jikalau rasa ini sampai muncul di
permukaan mereka maka sisi-sisi khawatir akan menggunung dan tentu akan
terkuras waktu untuk menimangku seperti masa bayiku, dulu.
Aksioma hidup yang sudah kupegang teguh sejak
tujuh tahun lalu takkan kuleburkan. Terlagi, hanya dengan hal sepele seperti
ini yang jikalau dihitung barangkali masih cukup jari untuk menghitungnya
selama di tanah rantau ini. Ya, mandiri dan tak merepotkan orang lain, tanpa
kecuali. Pun keluarga yang notabene rusuk terdekat dengan hidupku. Bahkan
aliran darahku, nafasku adalah aliran yang bersumber mereka.
“Saatnya tiba.” lirihku di depan kaca.
Pakaian telah tertata rapi di matrik almari dan
sebagian di balok tasku. Lelah rasanya telah berkurang setelah empat jam
merebahkan diri di ranjang. Lelah yang bersumber dari aktifitas kampus yang
benar-benar mendapatkan pelajaran berarti sekaligus pukulan telak bagi tubuhku.
Bagaimana tidak, seminggu sudah aku bersama anggota lainnya harus merelakan
malam yang mestinya dipergunakan untuk istirahat, tetapi kami gunakan untuk
mempersiapkan agenda secara matang. Belum lagi pada hari H, grafik tangen
sesuai untuk penggambaran jalan hidupku. Ya, kala itu masih dengan badan yang
belum memiliki energi utuh, aku turut serta mensukseskan agenda yang sudah
dirancang jauh-jauh hari. Badan yang begitu tak stabil sangat terasa di
siangnya, dan di rubik benak hingga terpikir sakit yang akhir-akhir ini merebah
di tanah rantau ini. Sudah banyak mahasiswa menjadi korban keganasannya.
Hepatitis namanya.
Bertepatan bertemu seorang senior yang sudah
dekat denganku, Affan. Ia sangat khawatir saat vektor ceritaku mengarah
padanya.
“Sudahkah makan siang” Affan penuh nada cemas.
Memang di tangan, penetap waktu sudah menunjukkan waktunya makan siang. Bahkan
sudah terlampau jauh terlewati. Pukul 14.15.
“Belum, kak.” Aku sedikit malu-malu dan
menghindar dari suara lirihku. Tahu bahwa dia takkan mengizinkanku untuk turut
serta meneruskan agenda itu kalau aku sendiri belum memposisikan diriku pada
kondisi normal.
“Makan sana! Jangan sampai penyakit yang
merenggut kakak selama setengah semester itu merenggut dirimu juga.”
Tak ingin membuatnya kecewa, aku bergegas mentransformasikan
titahnya.
Dan tiba di penghujung acara, agenda yang
diperkirakan sebelum magrib sudah selesai tetapi menjadi hal yang manakutkan.
Batapa tidak, kericuhan yang tak terhingga lagi untuk diatasi sebab sudah
banyak orang luar datang meminta kami untuk melakukan ulang acara ini. Usut
punya usut, beberapa media hadir dan akhirnya acara ini selesai pada tengah
malam. Lagi, setelah terjadi kericuhan tersebut ternyata kami--panitia--belum
melepaskan dahaga untuk malam hari.
Langit makin murung saja. Burung-burung
perlahan menyimpan suara indahnya. Mereka bersembunyi di antara daun-daun agar
kujuran air langit tak membasahi sayap mereka. Saat itu aku tengah berada di
dalam bus. Tak sadari diri, setelah melihat langit yang mengabu sebab mendung
di awal keberangkatan dari tanah rantau, aku terlelap begitu saja.
Sampai-sampai kernet bus rela membangunkanku karena bus sudah sampai di
terminalnya.
Begitu resah diri melihat ketimpangan badan,
keremangan pandang, dan sendi-sendi memulai menyahut minta bantuan. Sesegera
mungkin aku keluarkan handphone-ku dan menulis berapa baris kata yang kutujukan
kepada kakakku dengan maksud untuk menjemputku. Tak lain dan tak bukan, aku
harus rela menunggu lama kendaraan yang menuju ke rumahku sebab kakakku tengah
sakit yang ternyata sudah dua hari. Sedang aku sendiri tidak dikabari
sedikitpun mengenai kondisinya.
Sudut-sudut istimewa ruangan rumahku sudah
kutatap begitu khidmat. Rindu setelah meninggalkan rumah selama seminggu sirna
ditelan cinta.
“Bagaimana kondisi kakakku.” ucapku lirih.
Bergegas aku menuju kamar kakakku dan berharap
dia tak terlalu mengkhawatirkan. Dalam sejenak tatapku, berkali-kali ia
berotasi dari tempat tidurnya. Sepertinya keresahan begitu nyata baginya. Aku
tak mau mengganggu istirahatnya dan mencari ibu.
Alfa yang kujumpai setelah menjelajahi isi
rumah. Tinggal satu ruangan dimana ibu selalu damai di sana, kamarnya. Dan
tiba-tiba mataku terbelalak melihat dirinya meringkut di kamar. Aku merasakan
apa yang tengah ia rasakan. O, ibu… aku meneteskan airmata. Mendengar langkah
kakiku di persegi lantai kamarnya, ibu memanggilku. Suara parau. Ya, parau
sekali. Kuhapus airmata secara tiba-tiba. Aku tak mau ia semakin tersiksa sebab
rasa sedihku melihatnya terbaring lesu. Kurelasikan tanganku ke sekujur
tubuhnya, memijatnya dengan kasih sayang. Ia pun terlelap.
Tanpa aku sadari hulu-hilirku mencari ibu, aku
melewatkan ayah untuk mencium tangannya seperti biasanya. Mataku seolah
tertutup ketika hati hanya tertuju pada sesosok yang melahirkanku, Ibu. Kulihat
ayah berbaring di depan televisi. Begitu santai. Menikmati acara yang
menurutnya menarik. Aku mendekatinya dan mencium tangannya.
Volume hati berkata lain, setelah melihat acara
televisi yang hanya tertuju pada satu chanel saja. Tak biasanya ayah begitu.
Seperti yang kuketahui ayah selalu merubah chanel ketika iklan mengalihkan
acara di televisi.
Aku mendekat. Sangat dekat. kudengar suara
rintihan. Seperti kelebat rasa menyiksa telah menyentuhnya. Aku ragu dan
gelisah.
“Ada apa ayah? Apa yang sedang ayah rasakan?”
“Ayah tidak apa-apa. Hanya saja empat hari ini
tubuh ayah butuh istirahat.”
Aku terperanjat. Pikiranku mulai tak rasional.
Variabelku bercabang-cabang mengenai keadilan. Hatiku menangis. Mengemis dan
terus melahirkan pesimis dengan alur hidup.
Ayah, ibu, dan kakak sedang sakit. Bagitupun
dengan badanku. Adilkah ini?
Lagi, hanya kepada seorang senior yang selama
ini seperti kakak sendiri kularungkan rasa.
-Ini adalah karunia yang harus kau syukuri.
Betapa tidak, karena Ia saat ini menghapuskan kubik dosa-dosa keluargamu.-
Aku masih tidak bergeming. Hati masih menegasi
kata-kata seniorku tersebut.
-Justru dengan inilah bahwa kita semua yang di
alam semesta ini seperti butiran debu dalam himpunan yang maha luas. Butiran
debu yang dengan kemantapan yakin akan adanya Zat segala Maha sehingga
mengetahui kecilnya diri. Lihat saja bilangan real, caca, prima, ataupun
lainnya banyak sekali anggotanya. Yang hendaknya anggota inilah yang akan
menghimpun sebagai kuasanya sang Maha Kuasa. Tidak aka nada huruf alfa, beta,
gamma, ataupun lainnya jikalau tidak ada kaum Yunani. Tidak akan ada huruf
alif, ba, ta, dan sebagainya kalau tidak ada orang Arab yang diberi petunjuk.
Pun manusia, misalnya Ibu, Ayah, kakak, dan dirimu takkan pernah ada jikalau
tidak yang menciptakannya. Nah, melalui penyakit inilah sebagai ujian khususnya
bagimu untuk terus melaju pada jalan-Nya. Melanjutkan cita-cita dan peta hidup
yang sudah kau goreskan di atas kertas. Jangan sampai dengan adanya ujian ini
kau malah semakin melemah. Jangan!-
Membaca pesannya yang begitu panjang dan runut serta
menyentuh. Akupun menyadari bahwasanya siapapun akan diberikan ujian oleh-Nya
dengan kadar kemampuan hamba-Nya. Begitupun aku, pastilah aku mampu menjalani
liku hidup ini.
Adalah butiran debu yang berhamburan
Di setiap sisisisi dari muka bumi
Atas titah yang diceritakan dalam
firman-Nya
Tiada seorangpun dapat membantah, pun
menodainya
Dan angka-angka butiran debu bersekutu
Melarik bangunan deret istimewa pada
tengadah doa
Tak pernah lelah, tak pernah jera
Membujuk aksioma teresap logika
Yang bersumber pada zat Esa.
***
#Kisah diambil dari adik dari Himpunan
Mahasiswa Pendidikan Matematika (HIMMA)
*Cerpen ini termaktub dalam buku "Telaga Kata Matematika".
0 komentar:
Posting Komentar