Laman

Minggu, 23 Juni 2013

Himpunan Butiran Debu


Oleh : Wahyu Wibowo


Adalah saat yang tepat untuk mendiferensialkan rasa rindu yang berkelebat selama seminggu terakhir. Juga rasa yang takkan diberitahukan kepada keluarga. Sebab jikalau rasa ini sampai muncul di permukaan mereka maka sisi-sisi khawatir akan menggunung dan tentu akan terkuras waktu untuk menimangku seperti masa bayiku, dulu.

Aksioma hidup yang sudah kupegang teguh sejak tujuh tahun lalu takkan kuleburkan. Terlagi, hanya dengan hal sepele seperti ini yang jikalau dihitung barangkali masih cukup jari untuk menghitungnya selama di tanah rantau ini. Ya, mandiri dan tak merepotkan orang lain, tanpa kecuali. Pun keluarga yang notabene rusuk terdekat dengan hidupku. Bahkan aliran darahku, nafasku adalah aliran yang bersumber mereka.

“Saatnya tiba.” lirihku di depan kaca.

Pakaian telah tertata rapi di matrik almari dan sebagian di balok tasku. Lelah rasanya telah berkurang setelah empat jam merebahkan diri di ranjang. Lelah yang bersumber dari aktifitas kampus yang benar-benar mendapatkan pelajaran berarti sekaligus pukulan telak bagi tubuhku. Bagaimana tidak, seminggu sudah aku bersama anggota lainnya harus merelakan malam yang mestinya dipergunakan untuk istirahat, tetapi kami gunakan untuk mempersiapkan agenda secara matang. Belum lagi pada hari H, grafik tangen sesuai untuk penggambaran jalan hidupku. Ya, kala itu masih dengan badan yang belum memiliki energi utuh, aku turut serta mensukseskan agenda yang sudah dirancang jauh-jauh hari. Badan yang begitu tak stabil sangat terasa di siangnya, dan di rubik benak hingga terpikir sakit yang akhir-akhir ini merebah di tanah rantau ini. Sudah banyak mahasiswa menjadi korban keganasannya. Hepatitis namanya.

Bertepatan bertemu seorang senior yang sudah dekat denganku, Affan. Ia sangat khawatir saat vektor ceritaku mengarah padanya.

“Sudahkah makan siang” Affan penuh nada cemas. Memang di tangan, penetap waktu sudah menunjukkan waktunya makan siang. Bahkan sudah terlampau jauh terlewati. Pukul 14.15.

“Belum, kak.” Aku sedikit malu-malu dan menghindar dari suara lirihku. Tahu bahwa dia takkan mengizinkanku untuk turut serta meneruskan agenda itu kalau aku sendiri belum memposisikan diriku pada kondisi normal.

“Makan sana! Jangan sampai penyakit yang merenggut kakak selama setengah semester itu merenggut dirimu juga.”

Tak ingin membuatnya kecewa, aku bergegas mentransformasikan titahnya.

Dan tiba di penghujung acara, agenda yang diperkirakan sebelum magrib sudah selesai tetapi menjadi hal yang manakutkan. Batapa tidak, kericuhan yang tak terhingga lagi untuk diatasi sebab sudah banyak orang luar datang meminta kami untuk melakukan ulang acara ini. Usut punya usut, beberapa media hadir dan akhirnya acara ini selesai pada tengah malam. Lagi, setelah terjadi kericuhan tersebut ternyata kami--panitia--belum melepaskan dahaga untuk malam hari.

Langit makin murung saja. Burung-burung perlahan menyimpan suara indahnya. Mereka bersembunyi di antara daun-daun agar kujuran air langit tak membasahi sayap mereka. Saat itu aku tengah berada di dalam bus. Tak sadari diri, setelah melihat langit yang mengabu sebab mendung di awal keberangkatan dari tanah rantau, aku terlelap begitu saja. Sampai-sampai kernet bus rela membangunkanku karena bus sudah sampai di terminalnya.

Begitu resah diri melihat ketimpangan badan, keremangan pandang, dan sendi-sendi memulai menyahut minta bantuan. Sesegera mungkin aku keluarkan handphone-ku dan menulis berapa baris kata yang kutujukan kepada kakakku dengan maksud untuk menjemputku. Tak lain dan tak bukan, aku harus rela menunggu lama kendaraan yang menuju ke rumahku sebab kakakku tengah sakit yang ternyata sudah dua hari. Sedang aku sendiri tidak dikabari sedikitpun mengenai kondisinya.

Sudut-sudut istimewa ruangan rumahku sudah kutatap begitu khidmat. Rindu setelah meninggalkan rumah selama seminggu sirna ditelan cinta.

“Bagaimana kondisi kakakku.” ucapku lirih.

Bergegas aku menuju kamar kakakku dan berharap dia tak terlalu mengkhawatirkan. Dalam sejenak tatapku, berkali-kali ia berotasi dari tempat tidurnya. Sepertinya keresahan begitu nyata baginya. Aku tak mau mengganggu istirahatnya dan mencari ibu.

Alfa yang kujumpai setelah menjelajahi isi rumah. Tinggal satu ruangan dimana ibu selalu damai di sana, kamarnya. Dan tiba-tiba mataku terbelalak melihat dirinya meringkut di kamar. Aku merasakan apa yang tengah ia rasakan. O, ibu… aku meneteskan airmata. Mendengar langkah kakiku di persegi lantai kamarnya, ibu memanggilku. Suara parau. Ya, parau sekali. Kuhapus airmata secara tiba-tiba. Aku tak mau ia semakin tersiksa sebab rasa sedihku melihatnya terbaring lesu. Kurelasikan tanganku ke sekujur tubuhnya, memijatnya dengan kasih sayang. Ia pun terlelap.

Tanpa aku sadari hulu-hilirku mencari ibu, aku melewatkan ayah untuk mencium tangannya seperti biasanya. Mataku seolah tertutup ketika hati hanya tertuju pada sesosok yang melahirkanku, Ibu. Kulihat ayah berbaring di depan televisi. Begitu santai. Menikmati acara yang menurutnya menarik. Aku mendekatinya dan mencium tangannya.

Volume hati berkata lain, setelah melihat acara televisi yang hanya tertuju pada satu chanel saja. Tak biasanya ayah begitu. Seperti yang kuketahui ayah selalu merubah chanel ketika iklan mengalihkan acara di televisi.

Aku mendekat. Sangat dekat. kudengar suara rintihan. Seperti kelebat rasa menyiksa telah menyentuhnya. Aku ragu dan gelisah.

“Ada apa ayah? Apa yang sedang ayah rasakan?”

“Ayah tidak apa-apa. Hanya saja empat hari ini tubuh ayah butuh istirahat.”

Aku terperanjat. Pikiranku mulai tak rasional. Variabelku bercabang-cabang mengenai keadilan. Hatiku menangis. Mengemis dan terus melahirkan pesimis dengan alur hidup.

Ayah, ibu, dan kakak sedang sakit. Bagitupun dengan badanku. Adilkah ini?

Lagi, hanya kepada seorang senior yang selama ini seperti kakak sendiri kularungkan rasa.

-Ini adalah karunia yang harus kau syukuri. Betapa tidak, karena Ia saat ini menghapuskan kubik dosa-dosa keluargamu.-

Aku masih tidak bergeming. Hati masih menegasi kata-kata seniorku tersebut.

-Justru dengan inilah bahwa kita semua yang di alam semesta ini seperti butiran debu dalam himpunan yang maha luas. Butiran debu yang dengan kemantapan yakin akan adanya Zat segala Maha sehingga mengetahui kecilnya diri. Lihat saja bilangan real, caca, prima, ataupun lainnya banyak sekali anggotanya. Yang hendaknya anggota inilah yang akan menghimpun sebagai kuasanya sang Maha Kuasa. Tidak aka nada huruf alfa, beta, gamma, ataupun lainnya jikalau tidak ada kaum Yunani. Tidak akan ada huruf alif, ba, ta, dan sebagainya kalau tidak ada orang Arab yang diberi petunjuk. Pun manusia, misalnya Ibu, Ayah, kakak, dan dirimu takkan pernah ada jikalau tidak yang menciptakannya. Nah, melalui penyakit inilah sebagai ujian khususnya bagimu untuk terus melaju pada jalan-Nya. Melanjutkan cita-cita dan peta hidup yang sudah kau goreskan di atas kertas. Jangan sampai dengan adanya ujian ini kau malah semakin melemah. Jangan!-

Membaca pesannya yang begitu panjang dan runut serta menyentuh. Akupun menyadari bahwasanya siapapun akan diberikan ujian oleh-Nya dengan kadar kemampuan hamba-Nya. Begitupun aku, pastilah aku mampu menjalani liku hidup ini.

Adalah butiran debu yang berhamburan
 Di setiap sisisisi dari muka bumi
 Atas titah yang diceritakan dalam firman-Nya
 Tiada seorangpun dapat membantah, pun menodainya

Dan angka-angka butiran debu bersekutu
 Melarik bangunan deret istimewa pada tengadah doa
Tak pernah lelah, tak pernah jera
Membujuk aksioma teresap logika
Yang bersumber pada zat Esa.
***

 #Kisah diambil dari adik dari Himpunan Mahasiswa Pendidikan Matematika (HIMMA)

*Cerpen ini termaktub dalam buku "Telaga Kata Matematika".

0 komentar:

Posting Komentar