Tragis!!!
Sesosok lelaki renta terkulai. Kakinya
terjerembab di lereng-lereng bukit. Alur langkahnya sempoyongan bersama dengus
angin menerjang keras. Tubuhnya peluh diremas terik yang menyeringai sekujur
tubuh. Rajutan bulir bernada asin mengekang basah pada lusuh baju hembusan
debu. Mengoyak dahaga dipelesiran asa. Menganga bibir sesugukan menelan ludah.
“Kicau burung masih menari di bumi pertiwi.
Layukah tubuh dimakan hari?”
Harmoni angin menghembus beda rasa. Pada
pohon-pohon rindang terjauh di puncak mengirim belaian mesra. Menyekat tubuh
pada kenikmatan optimal terasa sejenak. “Lupakanlah segala lara!”
Tiga puluh tahun sudah kenyataan pahit
didapatkan. Dalam detik berlalu, ia habiskan dengan berujar syukur. Acapkali
cerca dilontar para tetangga sedang tubuh masih keruh dan bejibun peluh. Hanya
senyum dan helusan dada sebagai penyambutnya. Kelaziman tingkah laku juga
selalu ia tanamkan pada sosok putra-putranya.
Lalu diayunnya kembali kakinya menuju tanah
tandus kembali. Dengan benak terpikir keempat balita kembar di rumah. Pada
peluh-peluh, bersikukuh membara semangatnya. Di pundaknya sebongkah puntung
kayu menyesak. Menusuk perih pada ujung-ujung tulang, menyisah sedikit sobekan
kulit yang menganga. Perih!
“Larilah ke timur!”
Tubuhnya berotasi di lahan bertandus. Matanya
lincah mengepaki setiap sudut curang perbukitan mencari titik asal ngaung. Tak
khayal, sebuah tandapun tak diraihnya. Ia binggung. Terus mencari. Nihil tak
mau lari pada derik waktu. Pundak dipukul berkali-kali. Tangan mencubit
berperasaan. Aku bukan mimpi.
Cukup lama ia berdiam diri dalam ketegapan. Tak
beranjak. Ia kelihatan linglung. Buah pikirannya dijajaki lembung suara tadi.
Gelisah berkepanjangan. Setiap bulir terka berselimut sia. Sedang hanya lukisan
seperti biasa didekap oleh bola mata sedari tadi. Tepat matahari berdiri diatas
kepala. Bayangan menembus pada jati diri. Tertusuk hati. Pengkolaborasian jitu
penyemat luka lara berkepanjangan. Nak,
maafkan bapak.
Entah apa yang tengah dipikiran lelaki tua itu.
Mulut kaku. Mata melotot tanpa berkedip. Tangan bergelantung pasrah. Engkau telah pecundangiku. Merusak
kepingan hidupmu. Aku tak akan memaafkanmu. Masih dalam terbujur
kaku dalam lahan lapang bertandus. Hati penuh bara dan luka. Serpihan doa si
kanan tak pernah digubris.
“Larilah ke Timur!”
Hati lepas penyaring. Langkah tergerak kesiap.
Melari tak berpenghujung. Lunglai tubuh berpadu utuh. Kalap. Merujuk suara yang
titah arahnya.
Begitu petang. Malam. Pagi. Melalu wajah ngarai
bermerah darah. Serpihan kulit terburai dimana-mana. Dahan-dahan ikut merasa
nikmatnya. Lalu berujar serapah kata jingga pada sebagian yang tersisa dibawah.
* * *
Flash Fiction ini tergabung
dalam buku “Warna Warni Kehidupan”
0 komentar:
Posting Komentar