Laman

Senin, 24 Juni 2013

Sepiring Empedu




 Tragis!!!

Sesosok lelaki renta terkulai. Kakinya terjerembab di lereng-lereng bukit. Alur langkahnya sempoyongan bersama dengus angin menerjang keras. Tubuhnya peluh diremas terik yang menyeringai sekujur tubuh. Rajutan bulir bernada asin mengekang basah pada lusuh baju hembusan debu. Mengoyak dahaga dipelesiran asa. Menganga bibir sesugukan menelan ludah.

“Kicau burung masih menari di bumi pertiwi. Layukah tubuh dimakan hari?”

Harmoni angin menghembus beda rasa. Pada pohon-pohon rindang terjauh di puncak mengirim belaian mesra. Menyekat tubuh pada kenikmatan optimal terasa sejenak. “Lupakanlah segala lara!”

Tiga puluh tahun sudah kenyataan pahit didapatkan. Dalam detik berlalu, ia habiskan dengan berujar syukur. Acapkali cerca dilontar para tetangga sedang tubuh masih keruh dan bejibun peluh. Hanya senyum dan helusan dada sebagai penyambutnya. Kelaziman tingkah laku juga selalu ia tanamkan pada sosok putra-putranya.


Lalu diayunnya kembali kakinya menuju tanah tandus kembali. Dengan benak terpikir keempat balita kembar di rumah. Pada peluh-peluh, bersikukuh membara semangatnya. Di pundaknya sebongkah puntung kayu menyesak. Menusuk perih pada ujung-ujung tulang, menyisah sedikit sobekan kulit yang menganga. Perih!

“Larilah ke timur!”

Tubuhnya berotasi di lahan bertandus. Matanya lincah mengepaki setiap sudut curang perbukitan mencari titik asal ngaung. Tak khayal, sebuah tandapun tak diraihnya. Ia binggung. Terus mencari. Nihil tak mau lari pada derik waktu. Pundak dipukul berkali-kali. Tangan mencubit berperasaan. Aku bukan mimpi.

Cukup lama ia berdiam diri dalam ketegapan. Tak beranjak. Ia kelihatan linglung. Buah pikirannya dijajaki lembung suara tadi. Gelisah berkepanjangan. Setiap bulir terka berselimut sia. Sedang hanya lukisan seperti biasa didekap oleh bola mata sedari tadi. Tepat matahari berdiri diatas kepala. Bayangan menembus pada jati diri. Tertusuk hati. Pengkolaborasian jitu penyemat luka lara berkepanjangan. Nak, maafkan bapak.

Entah apa yang tengah dipikiran lelaki tua itu. Mulut kaku. Mata melotot tanpa berkedip. Tangan bergelantung pasrah. Engkau telah pecundangiku. Merusak kepingan hidupmu. Aku tak akan memaafkanmu. Masih dalam terbujur kaku dalam lahan lapang bertandus. Hati penuh bara dan luka. Serpihan doa si kanan tak pernah digubris.

“Larilah ke Timur!”

Hati lepas penyaring. Langkah tergerak kesiap. Melari tak berpenghujung. Lunglai tubuh berpadu utuh. Kalap. Merujuk suara yang titah arahnya.

Begitu petang. Malam. Pagi. Melalu wajah ngarai bermerah darah. Serpihan kulit terburai dimana-mana. Dahan-dahan ikut merasa nikmatnya. Lalu berujar serapah kata jingga pada sebagian yang tersisa dibawah.

* * *

Flash Fiction ini tergabung dalam buku “Warna Warni Kehidupan”

0 komentar:

Posting Komentar