Laman

Sabtu, 25 Januari 2014

Perempuan di Ujung Mata


Oleh: Wahyu Wibowo



          
              Hari hendak menutup mata. Gelagat putih menjauh pergi. Nanar sinar pun pudar ditilang waktu. Tepat di pelupuk mata, kabar hadir redup ditelan angin. Ah, andai saja masih pagi. Kurengkuh niat bersih untuk menyulam laranya. Hendak apa dikata, ia tenggelam dalam tidurnya sendiri.

            Di sepanjang jalan lintas Sumatera lalu lalang kendaran tak pedulikan kiri-kanan. Debu sebabnya hantar lusuh wajah dan sekujur tubuh. Tak hirau air pembersih mengguyuri tubuh sebelumnya. O, janganlah melusuhkan hati juga. Kalau sampai terjadi, betapa malangnya hidup. Janganlah, jangan! Aku enggan terseruput jelaganya.

            Kian berisik, kain menukik suara kendaraan ke pori-pori telinga. Kendaraan yang tak pernah hilang dari kedipan mata akan lalu lalangnya. Kendaraan yang merelakan sebagiannya tergoyang setelah lewati paruh jalan berlubang. Goyangan yang tak seperti teraturnya goyangan Bumi ketika mengelilingi porosnya, Matahari. Pun Matahari mengelilingi Galaksi. Lalu, galaksi beredar pada alam semesta. Melainkan goyangan yang sedikit saja tak mendapati celah, maka merelakan segala isinya tumpah ruah meratai alas jalan.


            Burung camar menari di pundak bumi. Awang-awang tirai di depannya yang menyisahkan gumpalan awan. Hijau daun berdebu di depan sasaran hinggapnya. Pohon-pohon disinggahinya tanpa lebih dulu memilih. Lalu, dimanakah sarangnya? Tidak adakah ia sarang? Kenapa tiada penetapan ranting sebagai ruang rehat baginya hingga kecimpung rintang-ranting turut serta dalam perjalanan hidupnya. Lantas kenapa harinya masih saja tersenyum? Berkicau memecah sunyi. Menari di ruang terbuka. Ataukah hanya ingin pamer kemampuan saja? Untuk apa ia lakukan itu? Tak mungkin.Tak ada guna jika kelebihan diri disebar luas tanpa arah pasti sebagai penghayatan.

            Berdesir angin merayapi senja hari. Begitu mesra hingga tubuh manja dengan sentuhnya. Tubuhku jengah untuk melepasnya. Angan merasa aliran dari Firdaus rekat menyeka. Dalam hilir rasa, inginku selalu pada saat yang sama. Sejuk. Ah, nikmatnya hidup di dunia fana jika pilihan kisah selalu merujuk pada senja bahagia.Tapi kenapa hanya sebagian yang mendekapnya, adilkah ini? Di sisi sana, di antara pepohonan. Di antara semak belukar. Di antara keramaian yang tersembunyi. Warna tubuh telah menukar gambar sebab debu. Dekapnya pada kulit dan menusuk tulang-tulang. Lalu, merayapi. Memakan. Menidurinya. Dan tenggelam dalam lelapnya sendiri. Sudikah ia? O, pasung hidup yang menyiksa…

***

            Ruang ini serasa telah menyatu -mendarah daging- dengan tubuhku. Mengalir dalam setiap hembusan nafas. Meruangi pori-pori dan sendi-sendi. Dinding yang sebagian kupoles dengan pecutan penggugah ; jejak-jejak mimpi sebagai resolusi hidup. Aku nyaman berada di sana. Sangat nyaman. Dua tahun bukan waktu yang sebentar menggenapi tinggal di ruang rantau. Padahal di luar banyak yang lebih lengkap isinya. Ada sofa, televisi, ada juga lemari es, atau perabotan lainnya yang layak disebut perabotan rumah tangga.Namun, hati telah setia pada satu ruang yang dianggap paling nyaman. Untuk kemudian hari, tak ada yang menjamin akan pergolakan perimbangan yang mencuat ke permukaan. Karena waktu terus memberikan sempat untuk menimbang-nimbang. Meminang-minang agar kelak wajah benderang.

            Asupan segelas susu dan sepiring nasi uduk pagi itu cukup membuat tubuh pada puncak kesegaran, pada puncak kegirangan. Bukan kepalang riangnya, karena sungguh jerih payah sendiri begitu mendarah cinta ketika mengaliri aliran hidup.Mataku suka cita ketika menatapnya. Lalu gerayap tangan mendekatinya. Perlahan, menyuguhkan nikmat berperi. Sungguh, nikmat Allah mana lagi yang hendak didustai.Tak layak lagi aku mengeluh atas kesusahan diri yang hadir sekali-kali. Apalagi di sana, di bawah kolong jembatan, di sekitar tumpukan sampah, atau di riak gelombang perkotaan banyak yang mengurat energi sebagai pengganti sesuap nasi.

            Aku telah siap dengan sepeda tua berwarna merah pemberian seniorku suatu waktu. Maksudku menanyakan di mana tempat membeli sepeda karena inginku memiliknya dan menggunakannya untuk pergi ke kampus, tetapi waktu membeda makna dan menjadi lebih bahagia. Sebab sepedanya yang bersandar di teras rumahnya segenap menjadi milikku.“Rawatlah ia, sayang jika ia mendapati kesenjaannya hanya di teras rumah ini.”

            Detik berkilah beda pada jamuan yang menganak bahagia. Tak pernah diduga sebelumnya, sungguh! Entah mimpi apa malamnya sebelum berangkat ke sana? Ah, beruntungnya aku.

***

            Kembali hati diguyuri perih yang sebelumnya tak pernah kuundang. Entah sejak kapan bermulanya perih itu datang. Yang jelas sudah menganak jiwa jika pandangan tentangnya kembali ke permukaan. Seperti kabar duka yang tersering membuat meneteskan airmata.

            Memang pandangan itu tak begitu dekat dengan mataku. Bisa dikatakan sangat jauh. Terkadang rupanya serupa titik atau sekedar bayang-bayang yang kutangkap remang. Justru dengan keremangan itulah aku terbujuk untuk menatapnya penuh kasih sayang dan penghayatan. Kala itu pula, terbersit hati untuk berbuat lebih dari. Tak sekedar melayangkan pandangan dari kejauhan, tapi sayangnya aku belum diizinkan untuk melakukannya. Seperti layang-layang yang diterbangkan, saat kepakannya melemah dan hendak mendarat di tanah maka dengan sigap ditarik kencang mengikuti arah angin dan kembali mendayu-dayu di awang antara langit dan bumi.

            Aku terdiam sejenak di hamparan debu akibat musim yang enggan berganti. Barangkali musim yang telah terpaut oleh waktu. Ada cerita yang menyebutkan bahwa akibat maksiat yang tak tertampung berita lagi sebagai penyebabnya. Perampokan, perjudian, zina, dan entah jenis maksiat apalagi.Yang jelas dan sangat jelas dari cerita itu, maksiat yang melimpah ruahlah menjadi penyebab musim yang kerontang ini.

***

            “Aku adalah ibumu…”

            Seketika saja, aku terbangun dari tidurku.Tersentak akan suara itu. Suara yang dalam bunga tidur itu berasal dari sesosok perempuan yang rupanya sepertinya pernah kutemui.Tapi rupanya masih dalam bingkai remang.

            Mataku meraba ke arah jam dinding, “Ah, masih tengah malam.” lirihku. Dan berangsur-angsur detik mengeja lelapku kembali.

            “Aku adalah ibumu.Ibu kandungmu.” sesosok perempuan mendekat. Sangat dekat. Sangat jelas rupanya kali ini.

            “Bukan!” ucapku seketika. “Aku tak memiliki ibu yang lusuh, berdebu, dan serupa dekilnya denganmu.” nadaku mengeras.

            “Lalu, mana ibumu?” suara itu mulai melemah di telinga. Jarak mulai menjadi penghalang rupanya. Ia mulai menjauh, menjauh, dan menghilang.

            “Entahlah, yang jelas aku tidak punya ibu sepertimu. Titik!” berangsurnya kataku dan menjajak ke detik laju, aku mulai meragu akan ucap yang baru saja dituturkan. Pikiran kelabu, “Aku tidak punya ibu sepertimu.” sekali lagi bibirku mengulangi. Kali ini dengan hati yang tak terkendali.

            Ribuan kilo jarak yang kau tempuh
            Lewati rintang untuk aku anakmu
            Ibuku sayang masih terus berjalan
            Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah*

            Aku kembali tersentak. Kelopak mata terbuka dan menerawang dinding ruang rantau dengan nada gelagapan. Lalu duduk di sudut ranjang hingga pagi menjelang. Sedang benak tak lepas dari kata-kata dan irama lalu yang membuat hati melirih.

***

            Sehari berangsur. Dua hari berlalu. Tiga hari  dan seterusnya berkisah. Tak sedetikpun retina mataku menjumpai sesosok perempuan di ujung sana; semak-belukar seperti biasanya. Lenyap? Tak mungkin sekejap itu lenyapnya.Ah, tak mungkin! Tak mungkin! Kenapa lenyapnya ia setelah mimpi itu menyusup dalam gelisah malamku? Mustahil kalau ada hubungan dengan itu. Tapi, kalau tidak ada hubungan dengan kejadian malam itu, terus kenapa hatiku gelisah?

***

            “Waktu itu, tak jengah retina matamu menatap langkah perih ibumu. Lautan api diseberangi, terjalnya lembah dilintasi, tajamnya duri kehidupan dihadapi, kejam…” suara itu berhenti sejenak, “Semua itu dilakukan demi kehidupanmu. Melihat itu, dalam usia balita kau semburkan pada alam lagu kasih ibumu untukmu. Tak pelak linangan airmata turut serta melirihkan langit kelabu. Tapi, seolah bahagia tak pernah berpihak, malam jingga menghampiri keluarga kita. Ayah dibunuh dengan leher dan tubuh terpisah. Tanah bersimbah darah. Tepat di sana, ibumu histeris dan jatuh pingsan. Masih dalam malam yang sama dan ibumu siuman setelahnya, tak kuasa ibumu menatap ayah terkulai di atas tanah, lalu sumringah mencarimu. Lagi, kepahitan didapatinya. Ranjang menyisahkan bantal dan gulingmu. Ia tersentak, hatinya meledak, dan terserak di antara semak-belukar mencari keberadaanmu. Dan ingatlah, kasihnya seperti udara tak akan pernah sirna meski masa merenggutnya, seperti irama lagumu dulu…”

            Belum sampat menyeka kata itu lebih dalam, suara itu menghilang. Di balik jendela, aura pekat masih menyelimuti. Lagi, malam bertabur gelisah. Entah sejak kapan, pipiku mulai basah akibat airmata. Bersamaan lembabnya pipi, isak menerusi malam. Melembabkan ranjang.

            Ah, kejamnya diri! Tersirat hati tentang tangisan hidup perempuan di ujung mata, kemarin. Tetap saja, jengah laku untuk menyeka perih hidupnya. Dan kini, mengemis dan menangis bersimbah darah untuk meraih kasihnya, takkan rujuk kembali masa itu…

*Lirik lagu dari Band Iwan Fals

Inderalaya, 1-22 November 2012 



Cerpen ini termaktub dalam Kumpulan Cerpen, "Batu Ibu"- yang didalamnya terdapat 20 cerpen terbaik dari 4 kategori (Pelajar, Pemuda, Guru, dan Umum) dalam Anugerah Cerpen Pembaca Sumatera Ekspres 2012.

Selamat membaca, semoga bermanfaat.

 ~ Salam Pena, Wahyu Wibowo

4 komentar: