(Bukti publikasi di Radar Mojokerto, 10 Januari
2016)
Kisah perjalanan melintasi bermacam
samudera, mendaki belasan gunung, atau menikmati keteduhan para sawah dan
kengerian tak terduga pelbagai tanah nusantara, berada pada bab terpenting bagi
setiap orang. Narasi kisah perjalanan ini dapat menenggelamkan diri pada nuansa
membahagiakan, mengesankan, dan menenggelamkan kesedihan yang hendaknya
diketahui oleh seminimal orang-orang sekitar.
Pewartaan cerita bisa jadi dilakoni
berulang-ulang kepada orang yang serupa, hingga tak jarang penyanggahan dan
kejengkelan dari pendengar mendadak menciutkan harapan untuk membagikan secara
berkelanjutan. Ketakinginan merasai dan mengingat seorang diri perihal kisah
unik, heroik, atau mendebarkan hasil perjalanan itu adalah keniscayaan. Ada
rasa mubazir bila suatu hari nanti kelenyapan cerita menawan itu tak mampu
tertampung oleh memori pikiran yang tentu setiap detik akan dijejali
kisah-kisah terbaru. Akibatnya, kisah lama berangsur-angsur susut dari kadar
cerita seharusnya.
Tentu kita bisa memperkira bahwa setiap
jiwa akan turut bersuka cita bila ceritanya diingat dan nantinya menorehkan
catatan kebaikan bagi orang lain. Kegembiraan ini dapat dirasa bila kisah ini
mengalir ke para rongga telinga tanpa adanya sedikitpun pengurangan atau justru
penambahan yang tak selayaknya.
Kegelisahan tak utuhnya kisah yang
telah dirangkai lewat berpayah susah dan memakan waktu tak sedikit itu akan
terus menganak pinak di alam pikiran. Kegelisahan yang selanjutnya dapat mengganggu
kenyenyakan istirahat yang memang tak banyak. Malam menjadi masa-masa tak
mengenakkan.
Membaca Kepiluan Indonesia
Akhir-akhir ini, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah gencar merencanakan, mengampanyekan, dan
mengusung program pemerataan pendidikan di tanah air. Kepedulian Kemendikbud
ini diprakarsai setelah perhitungan kebutuhan guru di daerah terdepan, terluar,
dan tertinggal (3T). Instansi pendidikan ini pernah membeberkan bawah anak-anak
di daerah 3T membutuhkan setidaknya 14.000 pengajar (Harian Kompas, edisi 22
Oktober 2015).
Kita bisa menduga bahwa besarnya angka
kebutuhan pengajar itu berpengaruh pada layanan pembelajaran dan pengajaran di
daerah 3T. Itu berita yang memilukan. Apalagi, tentu, keprihatinan,
pencideraan, dan luka pendidikan itu
telah dan terus berlangsung tahun ke tahun. Besarnya angka kebutuhan pengajar
di daerah tersulit itu mulai ingin dituntaskan. Pengangsuran ini terlihat lewat
program Guru Garis Depan (GGD) yang diluncurkan Kemendikdub.
Kita patut mengapresiasi dan bersuka
cita atas keinginan pemerintah memperduli pendidikan yang mulai tak melulu di
pusat kota. Berkaca dari masa Orde Baru, kabinet pemerintahan Soeharto, telah
menjalankan kepedulian pada daerah-daerah yang jauh dari kota. Lewat Program
Lima Tahun (Pelita), Soeharto membangun desa, termasuk mengupayakan pendidikan
di sana.
Sayangnya, Kemendikbud di era Jokowi-JK
yang telah menghabiskan lebih setahun masa kerja, masih berfokus pada titik
penyediaan pengajar. Upaya pengangsuran ini sebenarnya membutuhkan waktu yang
tak sebentar. Padahal, bila melihat keperluan di lapangan guna penyetaraan
pendidikan di seluruh tanah air dengan waktu yang relatif singkat, pemerintah
dapat melirik buku. Buku dapat ditempatkan di taman baca daerah 3T, khususnya
setiap desa, tentu dapat menggairahkan semangat anak-anak di sana setidaknya
untuk melihat, menyentuh, membuka, atau membaca buku-buku.
Ketercapaian amanah negara guna
mencerdaskan anak bangsa itu dapat terwujud bila Kemendikbud memang memiliki
kesungguhan dalam menyeterakan pendidikan lewat hal ini. Selain, keterlibatan
para kepala desa, lurah, camat, bupati, gubernur, atau komunitas yang peduli
buku dan pendidikan untuk mensukseskan dan membumikan gemar baca di daerahnya
masing-masing. Pun, kehadiran taman baca sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh
orang-orang peduli pendidikan. Tak sekadar menyediakan buku, namun juga sebagai
ruang untuk berbagi pengetahuan, seperti yang dilakukan Gol A Gong lewat Rumah
Dunia-nya.
Berkaca dari para pejuang dan tokoh
nasionalis Indonesia, sebelum terjun menjadi aktor penting merebut kemerdekaan,
mereka bersuka rela mendermakan segenap jiwa dan raga untuk meraih pengetahuan
seluas mungkin dan pendidikan yang tinggi. Hatta pernah melewati masa-masa
genting berpendidikan. Untuk memiliki buku, Hatta menaruh kepercayaan lewat
retorika pada salah satu toko buku terkenal, De
Westerbookhandel.
Buku
Peleburan kisah “antik” semasa hidup
adalah bukti ketaksanggupan menjaga, melindungi, dan menghindupi cerita yang
telah dilahirkan oleh rahim kehidupan sendiri. Bagi segelintir orang, hanya
keteguhan paling nyata dan kecintaan paling istimewalah yang membuat mereka
bersedia mendermakan segalanya untuk melestarikan kisah. Mereka meluweskan
pikiran dan waktu untuk menghimpuni deret kisah menjadi satu kesatuan yang utuh
dalam bentuk buku. Kisah yang di kemudian hari mampu melibatkan pergulatan
batin pembaca dengan pernak-pernik pengetahuan dan inspirasi dari sebuah
perjalanan.
Bila melihat pengabadian kisah perjalanan,
kita diingatkan dengan sosok Gol A Gong yang mampu menyihir narasi kisah dalam
bentuk buku. Perbagai macam buku telah lahir dari kebesaran tekadnya yang
kemudian mampu membikin takjub kebanyakan orang. Misalnya, novel petualangan
Balada si Roy (1986-1990), Perjalanan Asia (1993), The Journey (2008), dan
Travel Writer (2012).
Gol A Gong merupakan satu dari sekian
banyak penulis yang berbahagia dan bercita-cita mengabadikan kisah perjalanan dan
menebar inspirasi. Kemunculan beberapa buku perjalanan itu bisa kita dianggap
sebagai rasa kemanusiaan rakyat melihat kurangnya literasi di tanah air.
Pergulatan batin sang penulis mestinya diperhati dan diberikan dukungan oleh pemerintah
untuk turut menyebarkan buku kemanusiaan sampai ke daerah tersulit. Pengebirian
pemerintah tentu membuat usaha, derita, dan limpahan dana yang telah terkuras
selama perjalanan dan proses penerbitannya akan berasa sia. Anak-anak di daerah
tersulit tetap saja sulit melek informasi dan bakal terus mengidap ketertinggalan
pengetahuan yang entah kapan lenyapnya. []
Alumnus Kampus Fiksi
#EdisiNonFiksi Diva Press, Yogyakarta
*) Tulisan ini dipublikasi di Radar Mojokerto, 10 Januari
2015.
0 komentar:
Posting Komentar