Laman

Jumat, 15 Januari 2016

Narasi Perjalanan, Kepiluan Pendidikan, dan Buku Kemanusiaan



(Bukti publikasi di Radar Mojokerto, 10 Januari 2016)
 
Kisah perjalanan melintasi bermacam samudera, mendaki belasan gunung, atau menikmati keteduhan para sawah dan kengerian tak terduga pelbagai tanah nusantara, berada pada bab terpenting bagi setiap orang. Narasi kisah perjalanan ini dapat menenggelamkan diri pada nuansa membahagiakan, mengesankan, dan menenggelamkan kesedihan yang hendaknya diketahui oleh seminimal orang-orang sekitar.


Pewartaan cerita bisa jadi dilakoni berulang-ulang kepada orang yang serupa, hingga tak jarang penyanggahan dan kejengkelan dari pendengar mendadak menciutkan harapan untuk membagikan secara berkelanjutan. Ketakinginan merasai dan mengingat seorang diri perihal kisah unik, heroik, atau mendebarkan hasil perjalanan itu adalah keniscayaan. Ada rasa mubazir bila suatu hari nanti kelenyapan cerita menawan itu tak mampu tertampung oleh memori pikiran yang tentu setiap detik akan dijejali kisah-kisah terbaru. Akibatnya, kisah lama berangsur-angsur susut dari kadar cerita seharusnya.

Tentu kita bisa memperkira bahwa setiap jiwa akan turut bersuka cita bila ceritanya diingat dan nantinya menorehkan catatan kebaikan bagi orang lain. Kegembiraan ini dapat dirasa bila kisah ini mengalir ke para rongga telinga tanpa adanya sedikitpun pengurangan atau justru penambahan yang tak selayaknya.

Kegelisahan tak utuhnya kisah yang telah dirangkai lewat berpayah susah dan memakan waktu tak sedikit itu akan terus menganak pinak di alam pikiran. Kegelisahan yang selanjutnya dapat mengganggu kenyenyakan istirahat yang memang tak banyak. Malam menjadi masa-masa tak mengenakkan.

Membaca Kepiluan Indonesia

Akhir-akhir ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah gencar merencanakan, mengampanyekan, dan mengusung program pemerataan pendidikan di tanah air. Kepedulian Kemendikbud ini diprakarsai setelah perhitungan kebutuhan guru di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Instansi pendidikan ini pernah membeberkan bawah anak-anak di daerah 3T membutuhkan setidaknya 14.000 pengajar (Harian Kompas, edisi  22 Oktober 2015).

Kita bisa menduga bahwa besarnya angka kebutuhan pengajar itu berpengaruh pada layanan pembelajaran dan pengajaran di daerah 3T. Itu berita yang memilukan. Apalagi, tentu, keprihatinan, pencideraan, dan luka pendidikan  itu telah dan terus berlangsung tahun ke tahun. Besarnya angka kebutuhan pengajar di daerah tersulit itu mulai ingin dituntaskan. Pengangsuran ini terlihat lewat program Guru Garis Depan (GGD) yang diluncurkan Kemendikdub.

Kita patut mengapresiasi dan bersuka cita atas keinginan pemerintah memperduli pendidikan yang mulai tak melulu di pusat kota. Berkaca dari masa Orde Baru, kabinet pemerintahan Soeharto, telah menjalankan kepedulian pada daerah-daerah yang jauh dari kota. Lewat Program Lima Tahun (Pelita), Soeharto membangun desa, termasuk mengupayakan pendidikan di sana.

Sayangnya, Kemendikbud di era Jokowi-JK yang telah menghabiskan lebih setahun masa kerja, masih berfokus pada titik penyediaan pengajar. Upaya pengangsuran ini sebenarnya membutuhkan waktu yang tak sebentar. Padahal, bila melihat keperluan di lapangan guna penyetaraan pendidikan di seluruh tanah air dengan waktu yang relatif singkat, pemerintah dapat melirik buku. Buku dapat ditempatkan di taman baca daerah 3T, khususnya setiap desa, tentu dapat menggairahkan semangat anak-anak di sana setidaknya untuk melihat, menyentuh, membuka, atau membaca buku-buku.

Ketercapaian amanah negara guna mencerdaskan anak bangsa itu dapat terwujud bila Kemendikbud memang memiliki kesungguhan dalam menyeterakan pendidikan lewat hal ini. Selain, keterlibatan para kepala desa, lurah, camat, bupati, gubernur, atau komunitas yang peduli buku dan pendidikan untuk mensukseskan dan membumikan gemar baca di daerahnya masing-masing. Pun, kehadiran taman baca sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh orang-orang peduli pendidikan. Tak sekadar menyediakan buku, namun juga sebagai ruang untuk berbagi pengetahuan, seperti yang dilakukan Gol A Gong lewat Rumah Dunia-nya.

Berkaca dari para pejuang dan tokoh nasionalis Indonesia, sebelum terjun menjadi aktor penting merebut kemerdekaan, mereka bersuka rela mendermakan segenap jiwa dan raga untuk meraih pengetahuan seluas mungkin dan pendidikan yang tinggi. Hatta pernah melewati masa-masa genting berpendidikan. Untuk memiliki buku, Hatta menaruh kepercayaan lewat retorika pada salah satu toko buku terkenal, De Westerbookhandel.

Buku

Peleburan kisah “antik” semasa hidup adalah bukti ketaksanggupan menjaga, melindungi, dan menghindupi cerita yang telah dilahirkan oleh rahim kehidupan sendiri. Bagi segelintir orang, hanya keteguhan paling nyata dan kecintaan paling istimewalah yang membuat mereka bersedia mendermakan segalanya untuk melestarikan kisah. Mereka meluweskan pikiran dan waktu untuk menghimpuni deret kisah menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bentuk buku. Kisah yang di kemudian hari mampu melibatkan pergulatan batin pembaca dengan pernak-pernik pengetahuan dan inspirasi dari sebuah perjalanan.

Bila melihat pengabadian kisah perjalanan, kita diingatkan dengan sosok Gol A Gong yang mampu menyihir narasi kisah dalam bentuk buku. Perbagai macam buku telah lahir dari kebesaran tekadnya yang kemudian mampu membikin takjub kebanyakan orang. Misalnya, novel petualangan Balada si Roy (1986-1990), Perjalanan Asia (1993), The Journey (2008), dan Travel Writer (2012).  

Gol A Gong merupakan satu dari sekian banyak penulis yang berbahagia dan bercita-cita mengabadikan kisah perjalanan dan menebar inspirasi. Kemunculan beberapa buku perjalanan itu bisa kita dianggap sebagai rasa kemanusiaan rakyat melihat kurangnya literasi di tanah air. Pergulatan batin sang penulis mestinya diperhati dan diberikan dukungan oleh pemerintah untuk turut menyebarkan buku kemanusiaan sampai ke daerah tersulit. Pengebirian pemerintah tentu membuat usaha, derita, dan limpahan dana yang telah terkuras selama perjalanan dan proses penerbitannya akan berasa sia. Anak-anak di daerah tersulit tetap saja sulit melek informasi dan bakal terus mengidap ketertinggalan pengetahuan yang entah kapan lenyapnya. []


Alumnus Kampus Fiksi
#EdisiNonFiksi Diva Press, Yogyakarta


*) Tulisan ini dipublikasi di Radar Mojokerto, 10 Januari 2015.

0 komentar:

Posting Komentar