Resensi
Tribun Jateng 27 Desember 2015
Judul
Buku : Celoteh-Celoteh
Penulis : Agus Budi Wahyudi
Penerbit : bukuKatta
Cetakan : I, Agustus 2015
ISBN : 978-602-0947-174
Halaman : 192
Penulis : Agus Budi Wahyudi
Penerbit : bukuKatta
Cetakan : I, Agustus 2015
ISBN : 978-602-0947-174
Halaman : 192
Peristiwa takkan henti mengisi ruang
kehidupan manusia. Pelbagai macam peristiwa—baik yang dapat maupun tidak dapat
dilihat—terus terjadi begitu saja. Mengalir mematuhi titah Sang Penciptanya.
Tidak semua peristiwa yang muncul dapat ditangkap, dilihat, atau diresapi
karena keterbatasan manusia. Meski begitu, sudah sepantasnya untuk membaca
pesan kehidupan dari peristiwa yang melimpah itu, sekalipun sedikit.
Di pengantar buku Celotah-Celoteh (2015) garapan Agus Budi
Wahyudi, penulis mengisahkan hal itu. Nukilan itu berbunyi: “Waktu kecil hingga
kini, penulis suka melihat langit. Luas tertangkap, tak terhingga. Hanya
penulis yang terbatas memandangnya. Cahaya bintang-bintang tertangkap indera.
Penulis yakin tidak semua cahaya mampu terlihat.”
Nukilan tersebut mengajak pembaca
menyadari bahwa peristiwa sungguhlah tak terhingga. Pun, dari sekian jumlahnya,
kita (pembaca) hanya mampu menangkap sebagiannya saja. Oleh karenanya, penglihatan
indera yang terbatas tak layak hanya diendap begitu saja. Penulis yang dalam
biodatanya gemar menasehati sambil bercerita ini mengajak pembaca untuk membaca
apa yang mampu dilihat, dirasa. Membaca rahasia kehidupan yang kemudian diolah
oleh pikir dan jiwa.
Buku ini muncul setelah Budi membaca
kehidupan yang dilakoninya, yang celotehannya dirapikan dalam bentuk tulisan.
Di sini, pembaca akan menemui pelbagai realitas sosial dalam pendidikan,
ekonomi, politik, sosial, religiusitas, atau lainnya, yang tentu ditemui
kebanyakan pembaca. Hal ini diakui Budi: “Celoteh ini saja tentu memiliki arah
yang seperti asap putih mengepul di udara. Bisa dilihat dan dirasakan, tentu.”
(hlm 7)
Dalam tulisan berjudul ‘Asap’,
pembaca akan menemui kejujuran dari realitas kehidupan. Asap akrab hubungannya
dengan bakar, membakar, dan pembakaran. Ada asap yang menandai adanya sejumlah
makanan yang tersaji di meja penjamuan. Asap itu keluar dari dapur. Sedang,
asap keluar dari perut bumi, seperti lumpur lapindo, pertanda alam turut serta.
Ada pula asap yang munculnya tahunan dan mematikan. Asap itu berasal dari
pikiran para biadab demi meraup keuntungan lewat pembakaran hutan. Akhirnya,
asap pula keluar dari para—siapa saja—yang berasal dari terbakarnya emosi
melihat rintihan di tanah air. Negara pun harus dipimpin oleh orang yang
kepalanya tidak berasap. Tidak berapi dan membiarkan kehancuran semakin menjadi-jadi
(hlm 15-18).
Pada halaman 24-26, disuguhkan
tulisan berjudul ‘Baju’. Diyakini, baju adalah identitas. Tempat, suasana, atau
waktu yang dapat membedakannya. Saat dinas bajunya formal, among tamu bajunya
seragam, atau saat di acara daerah menggunakan baju adat. Bahkan saat di sidang
korupsi sering dijumpai bajunya “sok” religius. Mengabarkan kalau dia adalah
orang baik dan bukanlah tersangka
seperti yang dicurigai.
Di celoteh bagian terakhir, Budi
mengajak merenungi nasib negeri dengan tulisan ‘Tusuk Sate’. Negeri diumpamakan
daging yang berada di gemuk tubuh. Gemuk tak sehat. Pajak yang terdongkrak naik
seolah daging yang tiada henti dilirik oleh mata-mata yang bertugas pengurus
negeri. Mereka menyantap rezeki daging setelah diiris-iris, ditusuk, disate
hingga mengibarkan kenikmatan dan kelezatan (hlm 189-191).
Setidaknya akan ditemui 71 celotah-celoteh
renyah, sederhana, dan berasal dari kehidupan sehari hari, yang tentu mengandung
hikmah untuk direnungi. Tulisan yang dikemas menarik tentu dapat dijadikan
contoh bagi pembaca, peristiwa yang terjadi patut dibaca, direnungi, dan
menjadi pelajaran untuk kehidupan di esok hari. []
Alumnus
Pendidikan Matematika
Universitas
Sriwijaya, Tinggal di Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar