Laman

Sabtu, 16 Januari 2016

Membaca Kehidupan




Resensi Tribun Jateng 27 Desember 2015
Judul Buku     : Celoteh-Celoteh
Penulis             : Agus Budi Wahyudi
Penerbit          : bukuKatta
Cetakan         : I, Agustus 2015
ISBN                : 978-602-0947-174
Halaman         : 192


Peristiwa takkan henti mengisi ruang kehidupan manusia. Pelbagai macam peristiwa—baik yang dapat maupun tidak dapat dilihat—terus terjadi begitu saja. Mengalir mematuhi titah Sang Penciptanya. Tidak semua peristiwa yang muncul dapat ditangkap, dilihat, atau diresapi karena keterbatasan manusia. Meski begitu, sudah sepantasnya untuk membaca pesan kehidupan dari peristiwa yang melimpah itu, sekalipun sedikit.


Di pengantar buku Celotah-Celoteh (2015) garapan Agus Budi Wahyudi, penulis mengisahkan hal itu. Nukilan itu berbunyi: “Waktu kecil hingga kini, penulis suka melihat langit. Luas tertangkap, tak terhingga. Hanya penulis yang terbatas memandangnya. Cahaya bintang-bintang tertangkap indera. Penulis yakin tidak semua cahaya mampu terlihat.”

Nukilan tersebut mengajak pembaca menyadari bahwa peristiwa sungguhlah tak terhingga. Pun, dari sekian jumlahnya, kita (pembaca) hanya mampu menangkap sebagiannya saja. Oleh karenanya, penglihatan indera yang terbatas tak layak hanya diendap begitu saja. Penulis yang dalam biodatanya gemar menasehati sambil bercerita ini mengajak pembaca untuk membaca apa yang mampu dilihat, dirasa. Membaca rahasia kehidupan yang kemudian diolah oleh pikir dan jiwa.

Buku ini muncul setelah Budi membaca kehidupan yang dilakoninya, yang celotehannya dirapikan dalam bentuk tulisan. Di sini, pembaca akan menemui pelbagai realitas sosial dalam pendidikan, ekonomi, politik, sosial, religiusitas, atau lainnya, yang tentu ditemui kebanyakan pembaca. Hal ini diakui Budi: “Celoteh ini saja tentu memiliki arah yang seperti asap putih mengepul di udara. Bisa dilihat dan dirasakan, tentu.” (hlm 7)

Dalam tulisan berjudul ‘Asap’, pembaca akan menemui kejujuran dari realitas kehidupan. Asap akrab hubungannya dengan bakar, membakar, dan pembakaran. Ada asap yang menandai adanya sejumlah makanan yang tersaji di meja penjamuan. Asap itu keluar dari dapur. Sedang, asap keluar dari perut bumi, seperti lumpur lapindo, pertanda alam turut serta. Ada pula asap yang munculnya tahunan dan mematikan. Asap itu berasal dari pikiran para biadab demi meraup keuntungan lewat pembakaran hutan. Akhirnya, asap pula keluar dari para—siapa saja—yang berasal dari terbakarnya emosi melihat rintihan di tanah air. Negara pun harus dipimpin oleh orang yang kepalanya tidak berasap. Tidak berapi dan membiarkan kehancuran semakin menjadi-jadi (hlm 15-18).

Pada halaman 24-26, disuguhkan tulisan berjudul ‘Baju’. Diyakini, baju adalah identitas. Tempat, suasana, atau waktu yang dapat membedakannya. Saat dinas bajunya formal, among tamu bajunya seragam, atau saat di acara daerah menggunakan baju adat. Bahkan saat di sidang korupsi sering dijumpai bajunya “sok” religius. Mengabarkan kalau dia adalah orang baik dan bukanlah tersangka  seperti yang dicurigai.

Di celoteh bagian terakhir, Budi mengajak merenungi nasib negeri dengan tulisan ‘Tusuk Sate’. Negeri diumpamakan daging yang berada di gemuk tubuh. Gemuk tak sehat. Pajak yang terdongkrak naik seolah daging yang tiada henti dilirik oleh mata-mata yang bertugas pengurus negeri. Mereka menyantap rezeki daging setelah diiris-iris, ditusuk, disate hingga mengibarkan kenikmatan dan kelezatan (hlm 189-191).

Setidaknya akan ditemui 71 celotah-celoteh renyah, sederhana, dan berasal dari kehidupan sehari hari, yang tentu mengandung hikmah untuk direnungi. Tulisan yang dikemas menarik tentu dapat dijadikan contoh bagi pembaca, peristiwa yang terjadi patut dibaca, direnungi, dan menjadi pelajaran untuk kehidupan di esok hari. []


Alumnus Pendidikan Matematika
Universitas Sriwijaya, Tinggal di Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar