Foto
wisuda bersama ayah-ibu
Bismillahirahmanirrahim…
Bulan
lalu sengaja kuubah nama “ruang keluh kesah, pembelajaran, atau semacamnya ini”
dengan seyakin-yakinnya sebagai ruang belajar dan silaturahmi. Dengan matang,
sehingga adanya niat untuk mengubah nama blog ini menjadi “Sinauramerame.blogspot.com”.
Meski begitu, rasa malam memiliki banyak tempat (media sosial), membuatku
merasa malas atau lebih tepatnya kurang fokus. Sejauh ini, aku masih setia
dengan akun facebook yang memang ialah media sosial yang pertama kali
kukenal.
Namun,
entah kenapa, secara tiba-tiba, setelah membaca tulisan Mas Irfan dan Mbak Vita
di blog melahirkan kembali semangatku untuk mengisi ruang ini. Seperti ada ruh
yang dikirimkan lewat tulisan mereka, menyentuh dengan lembut, dan mengajak
tanpa paksa untuk menebar manfaat.
Mas Irfan, lewat “kegalauan”-nya mencari
jodoh—yang memang akhir-akhir ini, ets…sejak mengenalnya di Kampus Fiksi #EdisiNonFiksi2
Diva Press November 2015 lalu, sepertinya kecambuk “virus merah jambu” sudah
mengakar di pikiranku bahwa hanyalah Si Pemuda Jawa Barat ini pemiliknya—yang
dalam postingan malam ini, kegalauan perihal media yang menerima pinangan
resensi pertamanya. Terus berjuang mas!
Kalau
Mbak
Vita, ah, tak perlu diceritakan panjang lebar, sudah paham betul,
sejak mengenalnya di Forum Indonesia Muda 15, Oktober-November 2013 lalu,
aku sering membaca tulisan dari peristiwa-peristiwa yang dialami, dipikirkan,
atau sekadar dilihatnya yang kemudian ditulis begitu lembut, apik, dan tentu
menginspirasi. Menggugah mata dan hati setiap pembaca.
Bermodal
dengan kedua penyampai semangat itu, akhirnya aku bersengaja meluangkan waktu,
meski dengan sedikit memaksakan kehendak—sebab harus merampungkan editan naskah
yang semoga akan segera cetak. Pesan ya? heee…
Ini
tahun baru, 2016. Memasuki tahun ini, baru awal tahun ini aku sangat merasai
menjadi orang yang “melukai” perasaan orangtuaku: tak memberikan kejelasan
kabar, entah melanjutkan pendidikan atau bekerja di tempat yang membanggakan,
selain keluyuran dan menghabiskan uang yang sebagian keluar dari tabungan yang
sudah mongering.
Meski
begitu, aku paham betul, kedua orang tuaku—pun saudara-saudaraku semoga
memaklumi jalan kehidupanku. Bukankah untuk mencapai “puncak” mesti melayarkan
pengorbanan? Ah, baiklah akan kuceritakan singkat sesuai dengan “judul” yang
kubuat di atas. Mukodimmah ini—barangkali—lebih panjang dari isi yang akan
disampaikan. Maklumkanlah!
Berkenaan
dengan awal dan akhir tahun—yang dilihat berdasarkan kalender masehi—hanya satu
yang kuingat erat: kelahiran orang-orang tercintaku, ayah dan ibu. Kedua
manusia “sempurna” menurutku ini mampu menyadarkanku perihal keistimewaan yang
kudapati. Betapa tidak, ibu dan ayahku lahir di tahun yang sama. Dan yang
paling mengejutkan—bukan, tepatnya mengesankan—adalah waktu kelahiran mereka.
Ulang
tahun ayah ke-58
Berdasarkan waktu yang
dipercayai oleh Mbah Supardi dan Mbah Suhaibah, ayahku lahir pada tanggal 1
Januari 1958. Itu artinya, ayah dilahirkan sebagai pembuka tahun yang akan
dilalui orang umat manusia masa kini dan akan datang. Selain kelahiran ayah di
tanggal pertama di tahun 1958, ternyata Mbah Kanem melahirkan ibuku di tahun
yang sama. Yups, 1958 pula. Namun, yang membuatku tercengang, bahagia, dan
bersyukur, adalah kelahiran ibu hampir berada di penghujung tahun. Berdasarkan
cerita yang sering ibu perdengarkan, ia lahir di tanggal 30 Desember 1958.
Bila ditelisik lebih jauh, keberkahan
sepertinya mulai nampak dengan kehadiran mereka sebagai pembuka dan penutup
tahun. Kombinasi yang senantiasa di dalamnya penuh keberkahan. Kombinasi yang
begitu serasi. Kombinasi yang berupaya melahirkan generasi yang “Membangun
Negeri”. Semoga.
Namun, untuk kali kesekian,
“anak lanang” ayah dan ibu ini tidak bisa di kampung halaman di waktu-waktu
demikian, meski begitu doa anak lanang senantiasa akan selalu mengalir—dan
semoga tersampaikan kepada-Nya. Anak lanang paham betul, apapun keputusan anak
lanang asalkan baik dan nantinya membawa bahagianya berkah, maka restu akan
selalu mengiringi. Semoga suatu hari nanti “anak lanang” bisa pulang dengan
tidak membawa “kekecewaan” dan rasa malu yang teramat besar.
--Salam Anak Lanang, di Tanah
Yogyakarta--
Wahyu Wibowo bin Imam Mahmudi (dan Sri Mulyani)
Wahyu Wibowo bin Imam Mahmudi (dan Sri Mulyani)
Ruang Inspiratif, di malam
yang sunyi,
Yogyakarta, 8 Agustus 2016
(Melanjutkan tulisan singkat
yang dibuat di awal tahun).
Mari silatirahmi di:
Facebook
: Wahyu Wibowo
Twitter
: @WahyuKelingi
Blog
: Sinauramerame.blogspot.com
Anak lanang memang harus lebih banyak merantau sambil terus memberi kabar bahwa rantau banyak mengajarinya arti pulang.
BalasHapusEsok jika tanah rantau sudah cukup menempanya, anak lanang harus tetap pulang.
Tidak ada tempat paling nyaman membagi kebahagian selain rumah, bukan? ^^
Ya, benar sekali. Rumah tempat paling nyaman dari segala nyaman. Sama halnya, manusia berharap pulang ke "rumah" yang sebelum Nabi Adam terbujuk rayu setan, "Surga".
HapusAh kak wahyu justru karena kecambuk kak wahyulah aku akhirnya nulis lagi.. Terima kasih ya (:
BalasHapusYang penting gak nyakiti, ya... :D
Hapus---semoga bisa terus berkarya, menginspirasi...
Masyaallah kak, sngat menginspirasi, sehak dulu aku bodoamat sama hari ualng taun ibu bapa, sekarang lagi berusaha untuk bisa membahagiakan mereka, sebelum terlambat. bismillah, semoga aku bisa mengikuti jejak mu kak wahyu����
BalasHapus