Laman

Jumat, 08 Januari 2016

Keistimewaan Bahtera Keluarga



Foto wisuda bersama ayah-ibu

 Bismillahirahmanirrahim…

Bulan lalu sengaja kuubah nama “ruang keluh kesah, pembelajaran, atau semacamnya ini” dengan seyakin-yakinnya sebagai ruang belajar dan silaturahmi. Dengan matang, sehingga adanya niat untuk mengubah nama blog ini menjadi “Sinauramerame.blogspot.com”. Meski begitu, rasa malam memiliki banyak tempat (media sosial), membuatku merasa malas atau lebih tepatnya kurang fokus. Sejauh ini, aku masih setia dengan akun facebook yang memang ialah media sosial yang pertama kali kukenal.


Namun, entah kenapa, secara tiba-tiba, setelah membaca tulisan Mas Irfan dan Mbak Vita di blog melahirkan kembali semangatku untuk mengisi ruang ini. Seperti ada ruh yang dikirimkan lewat tulisan mereka, menyentuh dengan lembut, dan mengajak tanpa paksa untuk menebar manfaat.

Mas Irfan, lewat “kegalauan”-nya mencari jodoh—yang memang akhir-akhir ini, ets…sejak mengenalnya di Kampus Fiksi #EdisiNonFiksi2 Diva Press November 2015 lalu, sepertinya kecambuk “virus merah jambu” sudah mengakar di pikiranku bahwa hanyalah Si Pemuda Jawa Barat ini pemiliknya—yang dalam postingan malam ini, kegalauan perihal media yang menerima pinangan resensi pertamanya. Terus berjuang mas!

Kalau Mbak Vita, ah, tak perlu diceritakan panjang lebar, sudah paham betul, sejak mengenalnya di Forum Indonesia Muda 15, Oktober-November 2013 lalu, aku sering membaca tulisan dari peristiwa-peristiwa yang dialami, dipikirkan, atau sekadar dilihatnya yang kemudian ditulis begitu lembut, apik, dan tentu menginspirasi. Menggugah mata dan hati setiap pembaca.

Bermodal dengan kedua penyampai semangat itu, akhirnya aku bersengaja meluangkan waktu, meski dengan sedikit memaksakan kehendak—sebab harus merampungkan editan naskah yang semoga akan segera cetak. Pesan ya?  heee…

Ini tahun baru, 2016. Memasuki tahun ini, baru awal tahun ini aku sangat merasai menjadi orang yang “melukai” perasaan orangtuaku: tak memberikan kejelasan kabar, entah melanjutkan pendidikan atau bekerja di tempat yang membanggakan, selain keluyuran dan menghabiskan uang yang sebagian keluar dari tabungan yang sudah mongering.

Meski begitu, aku paham betul, kedua orang tuaku—pun saudara-saudaraku semoga memaklumi jalan kehidupanku. Bukankah untuk mencapai “puncak” mesti melayarkan pengorbanan? Ah, baiklah akan kuceritakan singkat sesuai dengan “judul” yang kubuat di atas. Mukodimmah ini—barangkali—lebih panjang dari isi yang akan disampaikan. Maklumkanlah!

Berkenaan dengan awal dan akhir tahun—yang dilihat berdasarkan kalender masehi—hanya satu yang kuingat erat: kelahiran orang-orang tercintaku, ayah dan ibu. Kedua manusia “sempurna” menurutku ini mampu menyadarkanku perihal keistimewaan yang kudapati. Betapa tidak, ibu dan ayahku lahir di tahun yang sama. Dan yang paling mengejutkan—bukan, tepatnya mengesankan—adalah waktu kelahiran mereka.



 Ulang tahun ayah ke-58


Berdasarkan waktu yang dipercayai oleh Mbah Supardi dan Mbah Suhaibah, ayahku lahir pada tanggal 1 Januari 1958. Itu artinya, ayah dilahirkan sebagai pembuka tahun yang akan dilalui orang umat manusia masa kini dan akan datang. Selain kelahiran ayah di tanggal pertama di tahun 1958, ternyata Mbah Kanem melahirkan ibuku di tahun yang sama. Yups, 1958 pula. Namun, yang membuatku tercengang, bahagia, dan bersyukur, adalah kelahiran ibu hampir berada di penghujung tahun. Berdasarkan cerita yang sering ibu perdengarkan, ia lahir di tanggal 30 Desember 1958.

Bila ditelisik lebih jauh, keberkahan sepertinya mulai nampak dengan kehadiran mereka sebagai pembuka dan penutup tahun. Kombinasi yang senantiasa di dalamnya penuh keberkahan. Kombinasi yang begitu serasi. Kombinasi yang berupaya melahirkan generasi yang “Membangun Negeri”. Semoga.

Namun, untuk kali kesekian, “anak lanang” ayah dan ibu ini tidak bisa di kampung halaman di waktu-waktu demikian, meski begitu doa anak lanang senantiasa akan selalu mengalir—dan semoga tersampaikan kepada-Nya. Anak lanang paham betul, apapun keputusan anak lanang asalkan baik dan nantinya membawa bahagianya berkah, maka restu akan selalu mengiringi. Semoga suatu hari nanti “anak lanang” bisa pulang dengan tidak membawa “kekecewaan” dan rasa malu yang teramat besar.

--Salam Anak Lanang, di Tanah Yogyakarta--
Wahyu Wibowo bin Imam Mahmudi (dan Sri Mulyani)


Ruang Inspiratif, di malam yang sunyi,
Yogyakarta, 8 Agustus 2016
(Melanjutkan tulisan singkat yang dibuat di awal tahun).

Mari silatirahmi di:
Facebook        : Wahyu Wibowo
Twitter            : @WahyuKelingi
Blog                 : Sinauramerame.blogspot.com

5 komentar:

  1. Anak lanang memang harus lebih banyak merantau sambil terus memberi kabar bahwa rantau banyak mengajarinya arti pulang.
    Esok jika tanah rantau sudah cukup menempanya, anak lanang harus tetap pulang.
    Tidak ada tempat paling nyaman membagi kebahagian selain rumah, bukan? ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, benar sekali. Rumah tempat paling nyaman dari segala nyaman. Sama halnya, manusia berharap pulang ke "rumah" yang sebelum Nabi Adam terbujuk rayu setan, "Surga".

      Hapus
  2. Ah kak wahyu justru karena kecambuk kak wahyulah aku akhirnya nulis lagi.. Terima kasih ya (:

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang penting gak nyakiti, ya... :D
      ---semoga bisa terus berkarya, menginspirasi...

      Hapus
  3. Masyaallah kak, sngat menginspirasi, sehak dulu aku bodoamat sama hari ualng taun ibu bapa, sekarang lagi berusaha untuk bisa membahagiakan mereka, sebelum terlambat. bismillah, semoga aku bisa mengikuti jejak mu kak wahyu����

    BalasHapus